Budaya Lokal dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) dalam Islam


Oleh: Arian Bagas Prasetyo*

Agama dan kepercayaan merupakan hal yang melekat dalam diri manusia. Sifatnya sangat pribadi, dan terkadang dicampuri dengan hal-hal yang bernuansa mitologis. Orang bahkan rela sampai mempertaruhkan nyawanya demi kepercayan yang mereka anggap benar. Kemudian manusia juga berusaha membuat agama yang mereka anut menjadi lebih berfungsi dalam kehidupan kesehariannya, dengan cara menghubungkannya dengan gejala-gejala yang ada disekitar mereka.

Agama dapat juga menjadi sumber moral dan etika, tetapi juga dapat menjadi sistem kebudayaan. Dalam konteks itu agama Islam disebut sebagai gejala kebudayaan. Agama Islam juga tidak pernah membeda-bedakan budaya, yang di mana umat Islam perlu untuk mempelajari tentang pemahaman lintas budaya agar dapat lebih memahami budaya lain. Dapat kita amati, kebudayaan-kebudayaan di Indonesia banyak juga yang menyerap konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga sering terlihat bahwa Islam muncul sebagai sumber suatu kebudayaan yang penting di Indonesia.

Dalam Islam, terdapat landasan hukum dinamakan ‘urf yang merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh manusia baik berupa perbuatan yang biasa dilakukan atau perkataan yang biasa diucapkan. Islam juga memandang suatu budaya/adat sebagai hal yang memiliki kekuatan hukum. Maka dari itu, jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu perbuatan yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka telah dianggap telah mengalami pergeseran nilai adat, budaya atau tradisi. Dari faktor tersebut, Islam dalam berbagai bentuk ajarannya, menganggap adat atau ‘urfsebagai pasangan yang harus diambil secara selektif, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum syara’, bukan sebagai landasan hukum yuridis tapi hanya sebagai suatu alat untuk melegitimasi hukum-hukum syara’ yang sesuai yang tidak bertentangan dengan nash.

Proses pembentukan adat adalah dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus-menerus, dan jika pengulangan tersebut telah tertanam dalam hati setiap individu, maka sudah bisa berubah menjadi ‘urf, sehingga adat merupakan yang muncul pertama kali dan dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam didalam hati dan kemudian menjadi ‘urf. Oleh karena itu, adat dan ‘urf tidak mengandung suatu perbedaan makna yang signifikan dengan akibat hukum yang berbeda.

Kemudian secara prinsip, adat/tradisi tidak bertentangan dengan kemajuan. Namun, persoalannya pada tindakan sejarah, ketertarikan umat Islam dengan tradisi yang relevan begitu lemah. Hal tersebut muncul karena umat Islam belum mampu mengembangkan suatu metode yang mumpuni dalam memahami tradisi secara lebih cepat.

Maka selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal yang ada di masyarakat adalah sebuah adat/tradisi yang sudah ada sejak dulu dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan dalam keseharian masyarakat setempat. Agama Islam dengan ajarannya yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan penuh toleransi memandang tradisi secara selektif. Tradisi tersebut akan selalu dipelihara dan dilestarikan selama masih sesuai dan tidak bertentangan dengan akidah. Bahkan jika tradisi/adat yang dikenal dengan istilah ‘urf dapat menjadi salah satu dasar dalam pengambilan hukum.

 


*Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya  

 

Sumber:

Agung Setiyawan. (2012). Budaya Lokal dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam. ESENSIA, Vol. VIII No. 2. Juli 2012. Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar