Genealogi Nomenklatur “Habis Gelap Terbitlah Terang” Surat-Surat Kartini Door Duisternis tot Licht

Sampul luar (kiri) dan sampul dalam (kanan) Habis Gelap Terbitlah Terang hasil terjemahan “Empat Saudara” (Balai Poestaka, 1922)

Oleh: Dr. Suryadi, Staf Pengajar Universiteit Leiden, Belanda


Tahun ini hari lahir R.A. Kartini diperingati lagi. Wanita kelahiran Jepara pada 21 April 1879 itu menjadi terkenal berkat penerbitan surat-suratnya dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (HGTT). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa HGTT dikenal luas di Indonesia sejak 1920-an sampai sekarang. Akan tetapi mungkin tidak banyak orang yang mengetahui asal muasal kata itu. Siapa yang menciptakannya dan mengapa ia begitu populer? Esai ini mengungkapkan aspek sejarah Indonesia yang cukup lama tertimbun itu.

 

HGTT sebagai judul terjemahan pertama surat-surat R.A. Kartini diciptakan oleh “Empat Saudara”. Mereka adalah empat orang intelektual asal Pariaman yang pertama bersekolah ke Belanda di awal abad ke-20, yaitu Baginda Djamaloedin Rasad, Baginda Zainoedin Rasad, Baginda Dahlan Abdoellah, dan Soetan Moehammad Zain.

Dari kiri ke kanan: Baginda Dahlan Abdoellah, Zainoedin Rasad, Djamaloedin Rasad, dan Soetan Moehamad Zain

Baginda Djamaloedin bin Moehammad Rasad tiba di Belanda tahun 1903 untuk belajar ilmu pertanian di Landbouwhogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) di Wageningen. Tahun 1911, adiknya, Baginda Zainoedin, menyusul datang ke Belanda, dan mengambil bidang ilmu yang sama. 

 

Baginda Dahlan Abdoellah tiba di Belanda tahun 1913 untuk mengambil Lager Onderwijs Akte (Sertifikat pendidikan tingkat rendah) di Haagsch Genootschap Kweekschool di Den Haag, kemudian melanjutkan pendidikannya di Universiteit Leiden sambil membantu Prof. Dr. Ph.S. van Ronkel dalam pengajaran Bahasa Melayu (1918-1922). Soetan Moehamad Zain, yang bekerja di Balai Poestaka di Batavia, dipilih untuk menggantikan posisi Dahlan Abdoellah sebagai hulpleraar Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Ia sampai Belanda pada 1922. Keempat orang ini menyebut dirinya “Empat Saudara”, karena mereka memang memiliki hubungan keluarga dan sekampung halaman di Pariamanecuali yang terakhir. Tiga yang pertama aktif dalam Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia pertama di Belanda, bahkan di dunia, yang didirikan oleh Radjioen Soetan Casajayangan Soripada dkk. di Leiden pada 1908, yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di bawah kepengurusan Moehammad Hatta dkk. pada 1922.

 

Pada Februari 1917, Balai Poestaka (Commissie voor de Volkslectuur) di Batavia meminta Dahlan Abdoellah dan Baginda Zainoedin Rasad untuk menerjemahkan surat-surat R.A. Kartini yang versi bahasa Belandanya sudah terbit 6 tahun sebelumnya (1911). Belakangan, bergabung dua saudaranya yang lain: Djamaloedin dan Soetan Moehammad Zain.

 

Kontrak penerjemahan surat-surat R.A. Kartini oleh “Empat Saudara” dengan Balai Poestaka dilakukan ketika lembaga itu diterajui oleh D.A. Rinkes. Penerjemahan itu didasarkan atas terbitan surat-surat R.A. Kartini yang diusahakan dan diedit oleh J.H. Abendanon, mentor mahasiswa Indonesia di Belanda dan anggota kehormatan Indische Vereeniging, dengan judul Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche Volk,  diterbitkan oleh penerbit Van Dorp & Co. yang berkantor pusat di Semarang pada 1911.


Terbitnya buku ini telah melambungkan nama R.A. Kartini di dunia internasional. Pada tahun berikutnya (1912) buku ini mengalami dua kali cetak ulang oleh penerbit “Luctor et Emergo” di Den Haag. Banyak permohonan disampaikan kepada J.H. Abendanon untuk menerjemahkan buku kumpulan surat-surat R.A. Kartini itu ke dalam berbagai bahasa.

 

Proses penerjemahan surat-surat R.A. Kartini oleh “Empat Saudara” itu ternyata makan waktu cukup lama. Hasil terjemahan itu baru dapat diterbitkan pada 1922, dua tahun setelah terjemahan Inggrisnya oleh Agnes Louise Symmers diterbitkan oleh Duckworth & Co. di London (1920). Tahun 1923 versi Belandanya dicetak ulang untuk keempat kalinya (1923), masih oleh N.V. Electric Drukkerij “Luctor et Emergo”, dengan judul yang sama: Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche Volk.

 

Judul lengkap terjemahan Melayu buku ini adalah: “Habis Gelap Terbitlah Terang. Boeah Pikiran Radén Adjeng KARTINI“.  Di sampul dalamnya tertulis:  “Dimelajoekan oleh EMPAT SAUDARA. Dihiasi dengan 17 boeah gambar.” Buku ini tercatat sebagai Serie No. 198 keluaran Balai Poestaka dan per eksemplar dijual seharga f 2,50.

 

Dikatakan oleh J.H. Abendanon yang menulis kata ‘Pendahuluan’ bahwa baksud penerbitan surat-surat R.A. Kartini ini “lain daripada menerbitkan kesoekaan hati, ialah akan meminta pertolongan orang banjak oentoek mendirikan sekolah oentoek anak-anak gadis bangsa prijaji seperti jang dimaksoed oléh R.A. Kartini […]” (“Empat Saudara”, 1922: viii-ix). 

 

Di kemudian hari, sebagaimana sudah sama kita ketahui, judul terjemahan “Empat Sudara” ini – “Habis Gelap Terbitlah Terang” – menjadi sangat terkenal dan begitu lekat di bibir orang Indonesia, bahkan juga di luar negeri. Akan tetapi mungkin jarang orang (Indonesia) yang tahu bahwa judul itu adalah hasil kreasi artistik Dahlan Abdoellah dan tiga saudaranya. 

 

Sebenarnya, judul bahasa Belandanya, “Door Duisternis tot Licht”, tidak serta merta dapat diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” jika tidak mengalami olahan literer yang mendalam oleh para penerjemahnya (“Empat Saudara”). Kata-kata itu bisa saja diterjemahkan menjadi “Melalui Kegelapan Menuju Cahaya” atau “Dari Gelap Menuju Terang”. Jadi, pilihan judul yang ternyata kemudian menjadi sangat monumental itu – Habis Gelap Terbitlah Terang – merupakan hasil perenungan yang dalam yang merefleksikan kehalusan rasa kesastraan dan penguasaan bahasa Melayu yang tinggi oleh “Empat Saudara”, di mana dua di antara mereka – Dahlan Abdoellah dan Soetan Moehammad Zain – memang merupakan ahli bahasa Melayu dan pernah mengajarkan bahasa itu kepada mahasiswa Universiteit Leiden.

 

Selama ini banyak orang mengira HGTT adalah hasil kreasi Amijn Pané. Kekeliruan ini mungkin disebabkan oleh tiadanya penjelasan yang akurat dari para sejarawan. Ketika kontrak penerjemahan buku ini ditandatangani oleh “Empat Saudara” pada bulan Februari 1917, Armijn Pané baru berusia 9 tahun (ia lahir di Muara Sipongi, 18-08-1908), usia yang masih terlalu muda dan awam untuk membayangkan Balai Poestaka, apalagi Negeri Belanda yang begitu jauh di benua utara sana. Dan ketika hasil terjemahan “Empat Saudara” terbit tahun 1922, Armijn Pané baru berusia 14 tahun. Saat itu ia masih bersekolah di Europesche Lagere School (ELS) di Sibolga, kemudian pindah ke Bukittinggi.

 

Namun, dalam perjalanan sejarah, terjemahan surat-surat R.A. Kartini oleh Armijn Pané-lah yang lebih dikenal di Indonesia. Banyak orang tidak tahu bahwa judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” bukanlah ciptaannya. Ia hanya mengambil begitu saja judul terjemahan “Empat Saudara” (1922). Edisi pertama terjemahan Armijn Pané atas surat-surat R.A. Kartini baru terbit tahun 1938, enam belas tahun setelah terjemahan “Empat Saudara” terbit.  Penerbitnya juga Balai Poestaka (Serie No. 1303), dengan judul yang persis sama dengan versi  terjemahan “Empat Saudara” (1922): “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Disebutkan dalam “KATA PENDAHULUAN” (hlm. [3]) dan “KATA PEMBIMBING”nya (hlm. 5-34), bahwa terjemahan Armijn Pané ini diterbitkan karena versi 1922 oleh “Empat Saudara” “soedah habis terdjoeal”, sementara buku itu “masih dikehendaki orang djoea, malahan lebih banjak lagi dari daholoe […]” (hlm.[3]). Tapi ia tidak dibuat setebal yang dahulu “soepaja djangan terlalu mahal” harganja (hlm. [3]. Walhasil tebal versi 1938 terjemahan Armijn Pané itu hanya 208 halaman, jauh lebih tipis daripada versi 1922 yang mencapai 420+x halaman.

 

Terjemahan Armijn Pané itu telah dicetak berkali-kali oleh Balai Poestaka (cetakan ke-27 terbit pada 2009). Itulah sebabnya banyak orang Indonesia menganggap bahwa Armijn-lah pencipta kata-kata “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Padahal penciptanya adalah “Empat Saudara” (Baginda Dahlan Abdoellah, Baginda Djamaloedin Rasad, Baginda Zaionedin Rasad, dan Soetan Moehamad Zain).

 

Lama kekeliruan ini tidak dikoreksi disebabkan oleh langkanya informasi tentang siapa sebenarnya mereka yang berada di balik nama “Empat Saudara” itu. Dalam iklan-iklan tentang buku ini oleh Balai Poestaka, misalnya dalam majalah Pandji Poestaka, nama-nama di balik nama “Empat Saudara” itu juga tidak pernah disebutkan. Pencarian saya yang tiada henti untuk mengungkap nama-nama “Empat Saudara” itu akhirnya menemui titik terang setelah menemukan penjelasan J.H. Abendanon dalam pengantarnya untuk edisi ke-4 buku Door Duisternis tot Licht(1923: viii; kursif oleh Suryadi) sebagai berikut:

 

Door de zorg van de Commissie voor Volkslectuur in Indië, aan welker hoofd Dr. D.A. Rinkes zich bevindt, onder de titel ,,Habis gelap terbitlah terang”. Zij is vervaardigd door de heeren Baginda Abdoellah Dahlan(sic), onlangs afgetreden als hulp-leraar voor het Maleisch and de Leidsche Universiteit, en Baginda Zainoedin Rasad, die na met goed gevolg den cursus der Wageningsche Landbouw-Hoogeschool te hebben beëindigd, thans als leraar werkzaam is aan de Prins Hendrikschool te Weltevreden. Nog twee andere Maleiers hebben later hunne mederwerking verleend, n.l. de heeren Soetan Moehamad Zain, oud-lid van den Volksraad, thans-hulp-leraar voor het Maleisch aan de Universiteit Leiden, en Baginda Djamaloedin Rasad, redacteur van de Soematra Bergerak te Fort de Kock. Op het titelblad zijn de vier namen samengevat door de woorden "Empat Saudara”.

 

[Melalui asuhan Balai Poestaka di Hindia Belanda yang diketuai oleh Dr. D.A. Rinkes, terbit terjemahan buku ini dengan judul "Habis gelap terbitlah terang". Terjemahan ini dikerjakan oleh Tuan Baginda Abdullah Dahlan (sic), yang baru saja mengundurkan diri sebagai asisten guru bahasa Melayu di Universiteit Leiden, dan Baginda Zainudin Rasad, yang setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya di Sekolah Tinggi Pertanian Wageningen, dan kini bekerja sebagai guru di Prins Hendrikschool di Weltevreden. Dua orang Melayu lainnya kemudian ikut bekerja sama, yaitu. Tuan Soetan Moehamad Zain, mantan anggota Volksraad, yang saat ini menjadi guru bantu bahasa Melayu di Universiteit Leiden, dan Baginda Djamaloedin Rasad, editor surat kabar Soematra Bergerak di Fort de Kock. Pada halaman judul, keempat nama tersebut terangkum dalam tulisan “Empat Saudara”].

 

Dengan pernyataan dari J.H. Abendanon ini, tidak terbantahkan lagi bahwa empat orang bersaudara asal Pariaman-lah – Baginda Dahlan Abdoellah, Baginda Zainoedin Rasad, Soetan Moehammad Zain, dan Baginda Djamaloedin Rasad – yang pertama sekali menciptakan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” untuk terjemahan surat-surat R.A. Kartini dalam bahasa Melayu, yang kemudian menjadi amat terkenal dan melekat dalam memori bangsa Indonesia, bukan Armijn Pané, sebagaimana keliru dipahami oleh banyak orang Indonesia.












Sumber: Sumbar Satu

Posting Komentar

0 Komentar