Manuskrip Banten dan Mitigasi Gempa Bumi

Naskah Parimbon/Parukunan berisi tentang masalah gerhana bulan dan matahari serta gempa bumi. Didalam naskah diterangkan peristiwa-peristiwa yang akan timbul setelah gerhana bulan atau matahari dan gempa bumi berdasarkan bulan di mana bencana itu terjadi. Melihat catatan dalam naskah ini bahwa, orang Banten dulu lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan mengamati kejadian-kejadian yang secara tidak disengaja tampak dan dijadikan sebagai antisipasi mereka bahwa tidak lama setelah pertanda itu muncul akan adanya bencana yang melanda daerah tersebut. 

 

Dengan keterbatasan alat pendeteksi bencana alam, orang dulu menganalogikan petanda sebagai peringatan pada masyarakat untuk tetap siaga dan berhati-hati dalam menjalankan hidupnya supaya selamat dan bisa bertahan hidup. Mereka selalu melihat perimbon sebagai acuannya untuk melihat sesuatu yang menurut mereka tidak wajar dan diperkirakan bisa membahayakan keselamatannya.

 

Dengan adanya naskah-naskah yang mereka jadikan sebagai perimbon dalam melihat situasi lingkungan sekitar, ini adalah salah satu bentuk antisipasi dalam menghadapi situasi seperti gempa bumi dan lain sebagainya. Kalau kita melihat dengan kontek bencana alam yang sekarang, justru alat-alat pendeteksi dan prediksi bencana alam sudah mulai canggih dan modern tidak seperti jaman dahulu yang hanya bisa mengamati lingkungan sekitar dan membuka buku babon tersebut. 

 

Namun lagi-lagi keterbatasan alat yang manusia ciptakaan tampaknya belum mampu untuk menjawabpersoalan menangani terjadinya bencana alam. Sehingga penting kita menengok sedikit ke belakangbagaimana orang terdahulu kita melihat kejadian-kejadian tersebut hanya dengan melihat primbon danmengamatinya secara langsung melalui kejadian-kejadian alam di sekitarnya. Selain itu, orang dulu lebih dekat dengan alam dan menjaga kelestarian alam yang ada di sekitar mereka yang menjadi sumber kehidupan serta tempat mereka hidup. Bagaimanapun juga bencana alam bisa terjadi karena adanya ulah tangan oknum manusia yang tidak bertanggung jawab merusak alam yang ada, sehingga bisa menyebabkan terjadinya bencana alam sepeti longsor, kebakaran hutan, banjir dan lain sebaginya.

 

Dengan adanya kajian literature-literatur naskah kuno yang berisikan nasihat dan kewaspadaan masyarakat akan bencana alam, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kelestarian alam sekitar kita. Hal ini juga yang membuat para peneliti berusaha mengkaji ulang bagaimana cara orang terdahulu menghargai alam dabisa hidup berdampingan tanpa harus merusaknya. Tentu bukan berati kita harus kembali ke jaman dulu, tapi kita bisa ambil dan merefleksikan ulang kejadian-kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai pelajaran untuk membuat inovasi teknologi yang mampu membuat kita sebagai makhluk hidup mampu bertahan hidup di tengah bencana alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi kapan saja. 

 

Salah satu contoh bencana Tsunami di Banten yang tidak bisa diprediksi oleh alat pendeteksi yang mengakibatkan masyarakat sekitar tidak mengetahui hal tersebut. Artinya manusia sendiri tidak bisa mengandalkan teknologi saja, perlu adanya insting dan kepedulian lingkungan sendiri sehingga bisa mengamati dan mencermati tanda-tanda akan terjadinya bencana alam. Hal ini tampaknya perlu juga melihat bagaimana masyarakat dulu melihat dan menyikapi kejadian alam tersebut.

 

Selain naskah di atas, Naskah Gembong juga memiliki kemiripan isi, yakni berisi tentang masalahgerhana bulan dan matahari. Di dalam naskah diterangkan peristiwa-peristiwa yang akan timbul setelah gerhana bulan atau matahari berdasarkan bulan di mana bencana itu terjadi. Ada banyak cara orang dulu melihat fenomena alam yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya. 

 

Selain tanda alam yang menjadi salah satu cara orang dulu melihat fenomena yang akan terjadi, mereka juga tampaknya melihat reaksi tubuh atau mengetahui melalui tanda dalam tubuhnya. Setiap reaksi dalam tubuh seseorang mempunyai makna baik itu yang sifatnya individual maupun kelompok. Di dalam Naskah Kekedutan berisi tentang gejala tubuh yang disebut dengan kekedutan atau kedutan. 

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, kedutan adalah bergetarnya urat-urat pada kelopak mata dan sebagainya (yang dianggap sebagai alamat atau pertanda). Setiap kekedutan yang terjadi pada anggota tubuh menunjukkan peristiwa atau hal apa yang akan terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian orang mempercayai dalam tubuh manusia sesungguhnya mengalami kontak dengan alam sekitar. Setiap kejadian yang akan dialami oleh seseorang maupun satu kelompok masyarakat tentu ada tanda atau firasat yang menunjukkan bakal terjadi sesuatu seperti bencana alam dan lainsebagainya. Walaupun demikian, tidak semua orang bisa mendapatkan firasat tersebut.

 

Kalau kita melihat konteks kehidupan sekarang yang condong lebih mengutamakan teknologi dari pada hal yang disebutkan di atas. Tapi tidak sedikit pula masih banyak orang yang percaya akan tanda-tanda sebelum terjadinya bilahi (bencana) baik bencana alam maupun bencana yang sifatnya pribadi. Namun, tidak semua tanda yang dialami oleh manusia bisa berdampak buruk, bisa juga berdampak baik atau keberuntungan.

 

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari di masa sekarang dan bisa kita ambil sedikit pelajaran tentang bagaimana orang dulu menghargai betul tentang kondisi lingkungannya. Dengan demikian kita sebagai mahluk hidup yang senantiasa hidup berdampingan dengan alam, yang sewaktu-waktu bisa terjadi bencana seperti longsor dan lain sebagainya. Tentu harus memperhatikan hal tersebut, supaya bencana alam yang tidak bisa kita prediksi secara pasti kapan dan dimana bencana itu akan terjadi. Oleh karena itu, banyak kejadian-kejadian baik itu dalam bentuk peringatan atau tanda sebagai antisipasi kita yang terkadang kita sendiriacu dan tidak mau tau. Naskah bencana yang menceritakan berbagai bentuk kejadian di masa lalu bisa menjadi salah satu literatur yang menarik untuk dikaji lebih mendalam terkait tentang penanganan bencana alam. Selain itu, perlu adanya kajian tentang bencana melalui pendekatan kultural yang bersifat teologis.





Sumber: Mitigasi Bencana Alam di Banten

Posting Komentar

0 Komentar