Perkembangan Seni dalam Visualisasi Sang Nabi

 

Oleh: Sumanto Al-Qurtuby 

Banyak umat Islam beranggapan kalau sosok Nabi Muhammad, dari dulu sampai sekarang, tidak pernah digambar atau dilukis. Asumsi itu didasarkan pada argumen bahwa Nabi Muhammad – dalam sejumlah teks Hadis – melarang dirinya digambar untuk menghindari terjadinya pengultusan secara berlebihan atau “pemberhalaan”, dan dengan demikian bisa menodai misi dan prinsip tauhid (pengesaan Tuhan / monoteisme) yang diusung oleh Islam. 

 

Oleh sejumlah kalangan Islam tertentu – misalnya Salafi garis keras – larangan menggambar itu bukan hanya berlaku untuk sosok Sang Nabi tetapi semua makhluk manusia dan hewan yang bernyawa. Meskipun dalam prakteknya banyak dari mereka yang ambigu.

 

Tetapi asumsi itu sebetulnya tidak benar. Sosok sang nabi pernah dan bahkan hingga kini, oleh komunitas Islam tertentu, terus digambar/dilukis. Silakan anda baca buku-buku dan tulisan lain yang ditulis oleh para profesor, sarjana dan ahli di bidang karya seni dan lukisan Islam atau spesialis di bidang sufisme. 

 

Sebut saja Christiane Gruber (Chair & Professor of Islamic Art, University of Michigan), Omid Safi (Professor of Asian and Middle Eastern Studies, Duke University), Hugh Goddard (Direktur Alwaleed Center for the Study of Islam in the Contemporary World), Mona Siddiqui (Professor of Islamic Studies, the University of Edinburgh), untuk menyebut beberapa nama. 

 

Christiane Gruber misalnya menulis sejumlah buku tentang sejarah seni dalam Islam, termasuk seni visual menggambar Nabi Muhammad. Di antara bukunya, yang paling femonenal adalah "The Praiseworthy One: The Prophet Muhammad in Islamic Texts and Images." 

 

Di buku ini, Gruber menjelaskan tentang sejarah seni lukis dalam Islam, khususnya sejarah menggambar atau melukis Nabi Muhammad, yang tidak banyak diketahui oleh publik. Buku ini juga memuat banyak contoh lukisan Nabi Muhammad yang dilukis oleh para artis/pelukis sejak abad ke-13 M. Saya sempat mengkopi beberapa lukisan dan menarik ekspresinya. 

 

Menurut sejumlah sarjana di atas, lukisan-lukisan Nabi Muhammad juga bisa disaksikan di sejumlah galeri atau museum (misalnya Bibliotheque Nationale, Prancis, atau Metropolitan Museum of Art, New York). 

 

Menurut Hassan Yousefi Eshkavari, seorang ulama Iran yang kini tinggal di Jerman, gambar atau lukisan Nabi Muhammad banyak dipasang di rumah-rumah atau dipajang di toko-toko di Iran. Menurutnya, tidak ada larangan eksplisit mengenai menggambar sosok sang nabi, dan gambar-gambar itu bukan dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap Nabi Muhammad. 

 

Profesor Omid Safi juga mengaku mempunyai lukisan Nabi Muhammad di rumahnya yang ia bawa dari Iran. Saya sempat mengontak dia langsung untuk konfirmasi dan ngobrol soal ini. Menurutnya, tradisi atau budaya seni melukis sosok sang nabi (dan figur lainnya) sudah biasa dilakukan bagi masyarakat Iran, Turki, Asia Tengah, dan Asia Selatan, yang memiliki tradisi seni yang sangat kaya. Sangat kontras dengan masyarakat Arab. 

 

Kalau melihat atau mengkaji sejarah Islam, beberapa hal perlu diperhatikan. Pertama, Islam lahir di Jazirah Arabia – Hijaz - yang pada waktu itu (abad ke-7 M) didominasi oleh masyarakat Arab dari berbagai suku dan klan. Masyarakat Arab klasik tidak mengenal tradisi seni grafis (“graphic arts”) atau seni figuratif seperti menggambar atau melukis. 

 

Tradisi seni yang berkembang di kalangan masyarakat Arab itu adalah pantun atau sya’ir. Karena itu jangan heran kalau orang Arab itu gemar bersyarir. Tradisi bersyair ini dilakukan di acara nikahan, pertemuan publik, pertunjukan, kenegaraan, atau bahkan – dulu – saat berperang. 

 

Kedua, meskipun awalnya hanya terbatas pada masyarakat Arab, pada perkembangan selanjutnya banyak etnis Persi, Turki, India, Berber, Kurdi dan lain sebagainya di Timur Tengah yang turut mewarnai sejarah perkembangan Islam mula-mula. 

 

Karena itu, kalau membaca sejarah Islam awal jangan melulu dari perspektif atau kaca mata “Islam Arab”. Misalnya, nihilnya seni menggambar Nabi Muhammad dalam sejarah Islam klasik/pertengahan itu hanya di kalangan masyarakat Arab bukan dalam tradisi Islam Persi, Turki dan lainnya. 

 

Ketiga, aneka ragam mazhab atau kelompok Islam: Sunni, Syiah, Ibadiyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya yang masing-masing memiliki aneka ragam pandangan, penafsiran, tokoh panutan, dan kitab pegangan. Jadi, misalnya, Hadis (perkataan Nabi Muhammad) yang dianggap berisi larangan untuk menggambar sosok sang nabi, bisa saja diakui validitasnya oleh kelompok Sunni tapi tidak bagi yang lainnya. 

 

Misalnya Syiah yang tidak mempermasalahkan soal gambar-menggambar ini. Hal itu karena masing-masing mazhab mempunyai pegangan Kitab Hadis sendiri-sendiri yang mereka anggap otentik. 

 

Para sejarawan dan sarjana kajian Islam berargumen tradisi seni menggambar/melukis sosok sang nabi karena dipengaruhi oleh buku “Syama’il al-Muhammadiyah” (“Kesempurnaan” atau “Keagungan” Muhammad, ditulis pada abad ke-9 M oleh Imam Tirmidzi, salah satu penulis buku kumpulan Hadis penting dalam masyarakat Sunni) yang berisi narasi tentang sosok Nabi Muhammad yang digambarkan secara nyaris sempurna, baik bentuk fisik, perilaku, maupun moralitasnya.

 

Menarik untuk disimak, kalau melihat lukisan-lukisan Nabi Muhammad pada abad pertengahan, terutama sejak abad ke-13 M, sang nabi digambarkan dalam berbagai suasana. Ada lukisan tentang nabi dan para sahabat, nabi naik buroq ke surga, nabi yang dikelilingi oleh para malaikat, nabi yang duduk bersama nabi-nabi lain di Yerusalem, nabi saat menerima wahyu di Goa Hira, nabi di ka’bah dan masih banyak lagi. 

 

Ada satu lukisan yang menarik perhatianku, yaitu Nabi Muhammad naik onta beriringan dengan Yesus yang menaiki keledai (baik onta maupun keledai sama-sama hewan transportasi di Timur Tengah). 

 

Meskipun lukisan-lukisan Nabi Muhammad dijumpai di abad pertengahan yang diproduksi oleh para pelukis Persi atau Turki tetapi tidak dipasang di area publik melainkan untuk koleksi pribadi di rumah atau tempat-tempat privat tertentu. Pula, lukisan itu dimaksudkan sebagai ekspresi kecintaan dan respek umat Islam terhadap nabi mereka, bukan sebagai penghinaan.

 

Menariknya lagi, meskipun dalam tradisi Sunni dipercaya larangan menggambar sosok sang nabi sesuai dengan Hadis yang mereka pegangi tetapi dalam sejarah Islam tidak ada fatwa atau dekrit yang mengultimatum atau memberi peringatan keras plus ancaman hukuman bagi pelaku yang menggambar sosok sang nabi sampai “tragedi kartun sang nabi” yang diterbitkan oleh koran Denmark Jyllands-Posten tahun 2005 dan terakhir oleh media Charlie Hebdo (Perancis).

 

Kenapa sebagian umat Islam melukis sosok Nabi Muhammad? Mungkin juga lantaran di dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada larangan eksplisit untuk menggambar/melukis sang nabi. Lalu kenapa, kemudian sebagian umat Islam “zaman new” menganggap melukis sang nabi – dalam bentuk apapun – sebagai bentuk penghinaan agama? Demikian sekelumit tulisan singkat mengenai gambar sang nabi. 

Posting Komentar

0 Komentar