Aspek Penelitian Bahasa Spektakuler "Jawa Kuno": Dari Manuskrip Hingga Candi

Oleh: Dr. Dwi Puspitorini, M.Hum

Bahasa Jawa Kuno (BJK) adalah bahasa yang dikenal dan diketahui melalui  peninggalan masa lampau berupa naskah dan prasasti. Bahasa yang termasuk ke dalam  rumpun bahasa Austronesia ini merupakan bahasa tulis yang digunakan di Jawa Tengah  pada abad ke 9-10, di Jawa Timur pada abad ke 10-15, dan pada abad 15 sampai  sekarang di Bali. (Ogloblin 2005). BJK mendapat pengaruh yang cukup besar dari  bahasa Sansekerta. Pengaruh tersebut terutama terlihat dari banyaknya kosakata  serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta. Meskipun leksikon BJK mendapat  pengaruh yang kuat dari bahasa Sansekerta, secara gramatikal BJK tetap menampakkan  cirinya sebagai bahasa Nusantara. 

 

Oleh karena pengetahuan mengenai BJK hanya didapatkan melalui teks tulis,  penjelasan aspek ketatabahasaaan BJK juga terbatas pada teks tulis yang dijadikan data.  Teks-teks tulis yang terwariskan hingga kini sebagian besar merupakan karya sastra,  baik prosa maupun puisi. Beberapa karya besar mengenai tata bahasa BJK ditulis  berdasarkan sumber data yang tertentu.  

 

Pada abad ke-19 (1836-1839), seorang linguis terkenal dari Jerman, Wilhem von  Humboldt, menyelidiki tata bahasa BJK dalam kaitannya dengan penjelasan tentang  bahasa-bahasa yang termasuk rumpun Melayu-Polinesia. Penjelasan tersebut  didasarkan pada teks puisi Bratayuddha (Teselkin 1972: 8). Didorong untuk  memberikan pegangan bagi yang akan mempelajari BJK, satu abad kemudian,  Zoetmulder menyusun buku berjudul De Taal Van het Adiparwa:Een Grammaticale  Studie van het Oudjavaans. Buku yang diterbitkan di Bandung pada tahun 1950 ini  dihasilkan melalui penelitian yang sangat cermat terhadap naskah Adiparwa suntingan  H.H. Juynboll (Robson S.O dan V.M. Clara Van Groenendael: 1997). 

 

Menurut Zoetmulder, buku itu diberi judul Bahasa Parwa karena tata bahasa  BJK yang diuraikannya itu belum meliputi seluruh bahasa kesusastraan Jawa Kuno.  Uraian tata bahasa BJK dalam buku tersebut hanya berdasarkan naskah parwa  berbentuk prosa sederhana. Namun, kedalaman karya tata bahasa Jawa Kunonya ini  belum tertandingi hingga kini. Pada tahun 1984, terbit buku berjudul Struktur Bahasa Jawa Kuna karya Mardiwarsito dan Harimurti Kridalaksana. Buku ini menggunakan teks  Tantri Kamandaka sebagai korpus data penelitiannya mengenai tata bahasa BJK.  Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapat menganggap bahwa sebuah karya  mengenai tata bahasa BJK sangat mungkin mengandung kelemahan karena belum  mencakup semua aspek tata bahasa yang dikandung oleh teks lain. Untuk mendapatkan  gambaran tata bahasa yang lebih luas dan lengkap, bahan yang digunakan sebagai  sumber data harus luas. Namun, untuk mencapai hal tersebut tidak sedikit kesulitan  yang dihadapi peneliti saat berhadapan dengan data BJK. Tulisan ini mencoba memberikan gambaran kendala-kendala yang dihadapi peneliti bahasa Jawa Kuno. 

 

Istilah Bahasa Jawa Kuno 

Kata Jawa Kuno seringkali dikaitkan hanya dengan sastra Jawa Kuno, dalam hal  ini puisi Jawa Kuno yang disebut kakawin. Dalam sastra Jawa Kuno ada dua macam  puisi, yaitu kakawin dan kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India,  sedangkan kidung menggunakan metrum asli Jawa atau Indonesia (Zoetmulder,  1985:29). Terkait dengan bahasa yang digunakan dalam kedua jenis puisi tersebut,  Zoetmulder menjelaskan bahwa kakawin menggunakan bahasa Jawa Kuno, sedangkan  kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan.  

 

Penjelasan tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa kedua bahasa  tersebut berbeda. Istilah kuno dan pertengahan seolah-olah menggambarkan  perbedaan menurut waktu yang pada akhirnya membawa kita pada pemikiran bahwa  bahasa Jawa Pertengahan merupakan perkembangan dari Bahasa Jawa Kuno.  Kenyataannya tidak sesederhana itu. Selain puisi, juga ada sastra Jawa Kuno berbentuk  prosa. Bahasa yang digunakan dalam prosa Jawa Kuno tentu saja bahasa Jawa Kuno.  Namun, di dalam beberapa karya prosa muncul ciri khas bahasa yang dipakai dalam  kidung (Zoetmulder, 1985:29). 

 

Sastra kakawin mengalami penyalinan selama berabad-abad. Kakawin baru  ditulis kembali secara terus menerus selama berabad-abad. Syair-syair baru ditulis  kembali dengan mengikuti, meniru, dan menjiplak pola-pola syair sebelumnya. Di Bali,  tradisi lokal menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan pada abad ke-19 (Zoetmulder 1985:32). Teks Cantakaparwa yang dianggap merupakan teks prosa  berbahasa Jawa Kuno, diperkirakan disusun pada abad 19 (Ensink: 1967).1Dengan demikian, jika istilah Jawa Kuno dikaitkan dengan sastra Jawa Kuno  terutama kakawin, rentang waktu yang diliput oleh istilah Jawa Kuno sangat panjang.  Zoetmulder (1985:32) menyebutkan bahwa kurun waktu yang menghasilkan sastra  kakawin hampir seribu tahun lamanya. Oleh sebab itu, Zoetmulder membatasi kriteria  yang digunakan untuk menyebut istilah Jawa Kuno dalam penelitiannya tentang sastra  Jawa Kuno sebagai berikut. (Zoetmulder 1985:40) 

Setiap karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa yang tidak memperlihatkan bekas-bekas  pengaruh Islam atau bahasa Arab, atau dengan lain perkataan, yang ditulis dalam bahasa  Jawa Modern, akan masuk ke dalam bidang penelitian kami.  

 

Dalam kaitannya dengan ciri kebahasaan, Zoetmulder (1985:8) memberikan  batasan adanya ciri utama yang nampak dalam bahasa Jawa Kuno yaitu besarnya  jumlah kosakata dari bahasa Sansekerta namun tetap memperlihatkan ciri khasnya  sebagai suatu bahasa di Nusantara. 

 

Keterbatasan data 

Sumber data yang tersedia untuk meneliti BJK terbatas pada tersedianya naskah  atau prasasti yang terwariskan hingga kini. Data tidak bisa diperluas atau ditambah jika  peneliti menemukan hal-hal yang meragukan. Oleh karena berhadapan dengan “bahasa  mati” yang tidak ada penutur aslinya, peneliti BJK harus memanfaatkan semua  informasi dan pekerjaan filologis yang berhubungan dengan teks yang dijadikan sumber  data. Bila perlu, peneliti BJK menggunakan filologi sebagai ilmu bantu. 

 

Keterbatasan data juga menimbulkan keterbatasan pemahaman atas data.  Penelitian terhadap BJK menggunakan teks tulis berupa karya sastra. Oleh sebab itu,  teks berbahasa Jawa Kuno sulit dipahami. Kita sulit menentukan apakah pemakaian  bahasa di dalam teks adalah hasil kreativitas sastra atau benar-benar merupakan  contoh pemakaian bahasa sehari-hari. Selain itu, status teks seringkali tidak menentu  karena merupakan hasil penyalinan dan rekonstruksi.

 

Pendekatan yang dilakukan Becker terhadap teks Tantri Kamandaka sangat  menarik. Pendekatan tersebut dapat menjadi upaya untuk mengatasi keterbatasan  pemahaman atas data dalam penelitian BJK. Becker tidak mengabaikan kenyataan  bahwa BJK adalah bahasa tulis yang sebagian besar dikenal melalui karya sastra serta  bahwa teks BJK sebagian besar merupakan hasil terjemahan dari teks berbahasa  Sansekerta. Di dalam tulisannya yang berjudul Binding Wild Words: Cohesion in Old  Javanese Prose (1982a), Becker melakukan analisis kalimat dengan cara  membandingkan teks BJK dengan teks asli yang berbahasa Sansekerta. Ia menyoroti  bagaimana kata-kata di dalam teks BJK ditata dan diatur sehingga membentuk kesatuan  informasi yang padu dan lengkap. Unsur kohesif disoroti mulai dari tataran frasa  sampai tingkat kalimat. Semua dilakukan dengan membandingkan teks asli yang  berbahasa Sansekerta. 

 

Ketidakpastian asal dan umur teks 

Keterangan tentang umur teks kadangkala tidak sepenuhnya benar, terutama  jika teks tidak memuat keterangan angka tahun yang jelas. Penjelasan Zoetmulder  tentang umur teks-teks parwa tidak sepenuhnya benar setelah Van der Mollen (1991) melakukan penelitian yang cermat terhadap naskah Prastanikaparwa.Menurut  Zoetmulder, parwa pertama yaitu Ãdiparwa ditulis pada sekitar abad 10.  Prastanikaparwa yang merupakan bagian ketujuh belas dalam epos Mahābhārata ditulis pada masa-masa sesudahnya.  

 

Menurut Van der Mollen, pernyataan Zoetmulder bahwa hanya didasarkan pada  kesan Zoetmulder terhadap bahasa yang digunakan di dalam teks Prastanikaparwa. Hal  itu kurang mendukung kepastian umur teks yang pada gilirannya tidak dapat mewakili  pemakaian bahasa pada masa yang disebutkan. Oleh sebab itu, pemeriksaan lebih lanjut  terhadap teks yang termuat dalam naskah lain perlu dilakukan.  

 

Terkait dengan hal tersebut, pemilihan teks suntingan yang digunakan sebagai  sumber data penelitian bahasa Jawa Kuno harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati.  Peneliti harus mengetahui sebanyak mungkin informasi mengenai teks suntingan  tersebut. 

 

Sebagaimana dijelaskan pada bagian pengantar, tulisan ini hanya mencoba memberikan gambaran kendala-kendala yang dihadapi peneliti bahasa Jawa Kuno. Kendala-kendala sebagaimana telah digambarkan di dalam tulisan ini mungkin saja  merupakan subjektivitas peneliti pemula. Namun, penggambaran tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang kaitan antara linguistik dan filologi  dalam rangka penelitian bahasa Jawa Kuno. Pada masa lalu, kedua bidang ilmu ini  dikuasai sama mendalamnya oleh peneliti bahasa Jawa Kuno. 

Posting Komentar

0 Komentar