Wakatobi dalam Catatan Cina Kuno

Oleh: Ratna DN

Saya berkesempatan mengunjungi Kepulauan Wakatobi guna melakukan suatu kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan warisan dunia dan penyelamatan keberlanjutan pesisir lautan. Wakatobi merupakan sebutan untuk gabungan empat pulau yang lokasinya saling berdekatan dan memiliki keindahan yang sangat luar biasa, yakni pulau Wangiwangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Sejak tahun 1996, wilayah tersebut ditetapkan sebagai salah satu taman nasional di Indonesia yang tercatat memiliki sekitar 25 gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dan pulau-pulau karang sepanjang 600 kilometer. Perairan laut di daerah ini memiliki konfigurasi yang cukup beragam, yakni ada daratan yang memiliki tubir curam, dan ada yang melandai perlahan ke arah lautan.


Perjalanan ke Wakatobi saya mulai dari Surabaya. Kemudian, saya menempuh rute penerbangan Makassar – Kendari – Wakatobi. Sejak menginjakkan kaki di Wakatobi, mata tidak berhenti memandang berbagai sudut keindahan, setiap hembusan udara terasa sangat menyegarkan. Rasa syukur tak terkira selalu terucap atas anugerah Tuhan untuk menikmati serpihan surga yang turun ke bumi. Waktu menjalankan bermacam-macam kegiatan, saya difasilitasi untuk menginap di Patuno Resort selama beberapa hari. Selanjutnya, saya tinggal bersama keluarga angkat asal Pulau Wangiwangi.  


Kelebihan Wakatobi sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia telah membuat area ini memiliki kekayaan kurang lebih 942 jenis ikan, dan 750 jenis terumbu karang dari 850 jenis yang ada di bumi. Jelas saja dengan hal yang sangat memukau tersebut, Wakatobi telah membuat saya tidak mampu menahan hasrat menyelam ke dalam lautan. Saat menyelam, sungguh luar biasa keindahan yang saya dapatkan. Sedangkan selama di daratan, keanekaragaman satwa dan pemandangan alam yang masih perawan terus membuat saya berdecak kagum tidak karuan. 


Salah satu kesempatan lain yang cukup menarik adalah saat mengunjungi area suku Bajo. Dalam catatan Cina Kuno dan para penjelajah asal Eropa, suku yang dikenal sebagai masyarakat berperahu ini disebut-sebut sebagai penjelajah Kepulauan Merqui, Johor, Singapura, Sulawesi, dan Sulu. Sangat seru sekali ketika menyaksikan bahwa rumah-rumah tempat tinggal di area ini berada di atas laut dan banyak sekali anak dengan usia yang masih cukup dini sudah sangat lihai dalam berenang. Keahlian tersebut sangat tidak mengherankan karena memang mereka adalah suku laut. Andai memiliki waktu lebih panjang untuk mengunjungi, pastilah saya dengan sangat senang berinteraksi secara langsung dengan suku ini. Keramahan adalah karakter yang mereka miliki.


Saat penutupan kegiatan di tempat nan eksotis tersebut, secara mengejutkan Bapak Hugua selaku Bupati Wakatobi tahun 2014 memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi Duta Promosi Pariwisata Wakatobi dengan periode selama dua tahun. Saya juga diberi berbagai cindera mata khas wilayah yang menakjubkan ini. Walaupun hanya sebentar berada di Wakatobi, saya sangat mencintainya. Keindahan Wakatobi belum pernah membuat saya berhenti mengagumi. Saya akan selalu dengan senang hati mendatangi tempat tersebut berkali-kali. Hal ini sangat jarang terjadi bagi saya yang biasanya mudah merasa bosan untuk mengunjungi tempat yang sama dalam beberapa durasi. 


Pesan saya untuk setiap orang yang merasa memiliki pikiran waras dan masih menyukai keindahan, maka sebagai generasi yang memiliki budi pekerti, mari bersama-sama berusaha dalam merawat lingkungan, menerapkan pembangunan berkelanjutan, dan tidak berhenti belajar untuk menciptakan kestabilan alam agar dapat dinikmati masyarakat yang hidup saat ini maupun masa mendatang. Jangan biarkan segala alasan pembenaran yang dipaksakan membuat alam menjadi rusak dan tidak elok lagi untuk dihuni.

Posting Komentar

0 Komentar