Śiwāratrikalpa

Oleh: Clara Shinta Anindita Apriyadi

Śiwāratrikalpa yang selanjutnya disingkat SWK merupakan karya sastra kakawin abad ke-25, yang ditulis oleh Empu Tanakuṅ. Kakawin merupakan salah satu jenis sastra tertua yang berbentuk puisi dalam khazanah kesusastraan Jawa Kuno dengan metrum India. Pokok isi SWK berkaitan dengan ajaran agama. Lebih tepatnya mengenai “Malam Pemujaan Śiwa”. Cerita ini terdiri atas 39 kanto, yang dimulai dengan doa, puji-pujian, dan tujuan.

Śiwāratrikalpa pertama-tama menceritakan seorang pemburu bernama Lubdhaka yang hidup bahagia dengan istri dan anak-anaknya. Ia tidak pernah belajar tentang agama, norma, atau hukum. Yang diketahuinya hanya memburu hewan untuk makan keluarganya. Suatu hari, ia ingin pergi berburu. Semua perlengkapan telah disiapkan, namun tidak jadi dibawa. Ia hanya mengambil busur dan anak panah.

Ia berjalan ke segala arah dan melihat keindahan alam atau pedesaan yang dilewatinya. Ia takjub dengan segala keindahan yang disuguhkan oleh alam yang ia datangi saat itu. Ia pun melanjutkan perjalanan dan melihat sebuah kuil tua yang sangat sepi. Atapnya sudah rusak, temboknya pun hancur. Sangat terasa hawa dukacita karena kehancuran dan kesepiannya. Bahkan, menaranya yang tinggi, di puncaknya telah dipenuhi rumput liar. Menurutnya, ini adalah tempat yang sangat sunyi dan mistis.

Lubdhaka tiba di hutan di tengah gunung. Ia berpikir biasanya banyak hewan berkeliaran di sini. Namun, anehnya, suasana hutan itu sunyi senyap. Ia telah mencari ke mana-mana dengan panah siap sedia di tangannya, tetapi tidak pernah mengalami hal ini: tidak ada satu pun jejak hewan untuk diburu. Hingga Lubdhaka pun kelelahan dan kelaparan saat senja menyapa. Ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah kolam. Lubdhaka minum air dari kolam itu dan menunggu binatang datang untuk minum juga, sehingga ia dapat memburu binatang itu. Akan tetapi, sampai malam hari, tidak juga ada binatang. Lalu ia berpikir untuk menginap di sana.

Malam makin larut, entah mengapa suasana menjadi menyeramkan. Lubdhaka merasa takut, gelisah, dan tidak dapat tidur. Ia kemudian memanjat pohon di dekat kolam itu untuk berlindung. Lubdhaka mencari kegiatan agar tidak tertidur, lalu ia memetik daun-daun dari pohon Bael, membuangnya ke bawah secara terus-menerus. Dedaunan itu jatuh ke kolam yang ternyata di dalamnya terdapat lingga Śiwa. 

Ternyata, malam itu adalah malam ketika alam menetralkan dosa-dosa makhluk hidup. Lubdhaka yang sering membunuh pun terampuni dosanya karena pemujaan terhadap Dewa Śiwa. Walaupun hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan kesengajaannya.

Pagi pun menjelang. Alam dan tumbuhan menampakkan kembali keindahannya setelah peristiwa semalam. Tidak diceritakan lagi perjalanan ketika Lubdhaka pulang. Ia sampai ke rumahnya setelah melampaui jalan yang sama. Istrinya pun menyambut dan bertanya, “Suamiku, mana hasil buruanmu? Anak-anak sudah sangat menderita. Mereka tidak makan selama kamu pergi. Saya pun tidak tahu harus memberi apa kepada mereka. Namun, kini kau sudah kembali. Kami sangat senang masih dapat bertemu denganmu lagi.” Lubdhaka menjawab, “Maafkan aku, Istriku. Aku gagal dalam berburu. Tidak ada satu pun hewan buruan yang dapat kutemukan. Kemarin aku juga kelaparan dan ketakutan di tengah hutan. Tidak tidur, hanya menunggu di atas cabang pohon. Kalau saja kau tahu betapa menyeramkan dan menakutkan suasananya ketika itu di sana. Aku mungkin saja jatuh dan mati terbunuh di sana.” Istrinya berkata lagi, “Sayang, jangan melakukan hal berbahaya seperti itu lagi, ya! Aku sangat khawatir dan sedih mendengarnya.” Mereka pun minum dan makan bersama seadanya. Malam tiba. Aktivitasnya pun diulang lagi setiap hari.

Setelah bertahun-tahun rutinitas itu dilakukan, suatu hari Lubdhaka mengalami demam tinggi dan makin parah. Penyakitnya tidak sembuh-sembuh dan ternyata itulah saat ajalnya menjemput. Istrinya sangat sedih, dan berakhir mereka berdua meninggal dikremasi(pembakaran mayat hingga jadi abu).

Penulis mencantumkan bahwa terdapat manggala dan kolofon pada naskah SWK ini. Selain itu dijelaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam SWK ialah bahasa Jawa Kuno. SWK terdiri dari 39 kanto, informasi yang didapat dari Zoetmulder menjelaskan bahwa ada 20 jenis meter yang digunakan dalam SWK.

Manggala berada pada kanto pertama yang berisi tiga elemen, seperti: (1) doa dewa, (2) pemuliaan raja yang berkuasa, (3) merendahkan diri oleh penyair (pembenaran diri). Dewa di sini tidak disebutkan namanya, tetapi disebut sebagai Dewa para Dewa. Kolofon terdapat satu elemen, kutipan kolofon akan dijelaskan di bawah ini.

Terjemahannya:“Sekarang puisi Śiwāratri telah ditulis dalam Amlapura yang indah(=Gèlgèl) oleh orang bijak bernama Madhya Jalaja, yang berjuang demi berkat dengan cara menyalinnya. Tidak berharga adalah dia yang tidak tahu apa-apa tentang kekuatan aturan puitis dan komposisi; ini hanya hasil dari upayanya menemukan esensi dari puisi Jiwa Lubdhaka. Begitulah Lubdhaka selesai.”

Posting Komentar

0 Komentar