Santri dan Sumbangsih Pesantren dalam Khazanah Manuskrip Nusantara

Oleh: Ardiansyah BS

Pesantren merupakan unsur penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Berpartisipasi aktif dan ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Aset berharga bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas generasi masa depan. Institusi pendidikan yang menjadi garda terdepan dalam pembinaan akhlak, moral, dan karakter. Hal ini membuat pesantren mempunyai ruang khusus di hati masyarakat. Selain memberikan pembinaan kognitif, pesantren mengutamakan akhlak dan moralitas dalam pendidikan sebagai bekal menjalani hidup bermasyarakat.

 

Pesantren menjadi salah satu model pendidikan di Indonesia. Tradisi agung yang diwariskan dalam proses pengajaran agama Islam. Unsur-unsur kunci yang membangun sistem pengajaran pesantren antara lain: kiai sebagai sosok kharismatik, santri sebagai pembelajar, kitab kuning sebagai rujukan dalam proses pembelajaran, sorogan dan bandongan sebagai metode pembelajaran yang menjadi ciri khas pesantren. Selain itu, sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan tersebut diperluas, a fortiori, kepada ulama yang mengarang kitab-kitab rujukan yang dipelajari di pesantren (Bruinessen, 2015: 86).

 

Kepatuhan mutlak terhadap sosok kiai berkaitan erat dengan konsep barokah yang diyakini kalangan santri. Kiai sebagai pemegang komando tertinggi berbagai kegiatan pesantren. Tak jarang para kiai berafiliasi dengan tarekat yang mengajarkan pada pengikutnya ibadah dan amalan sufistik yang khas. Berbagai amalan pesantren yang bernafaskan sufistik dan ubudiyah, seperti shalat, zikir, wirid atau ratib dipimpin langsung oleh kiai atau santri senior yang ditunjuk oleh kiai. Kepatuhan ini oleh beberapa pengamat dianggap lebih penting dari usaha menguasai ilmu, tetapi bagi kiai hal tersebut bagian integral dari ilmu yang dipelajari.

 

Barokah atau berkah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Karunia Tuhan yang diberikan kepada siapa saja yang senantiasa berbuat baik kepada sesama. Usaha mencari keberkahan dalam pesantren dengan berbagai cara, mencium tangan, menundukkan kepala, menata sandal, menyiapkan tempat pembelajaran, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Kebaikan-kebaikan tersebut menurut KH. Zaini Mun’im (w.1976), pendiri PP. Nurul Jadid Paiton dilakukan berdasarkan panca kesadaran santri sebagai pusaka dan pedoman hidup, yaitu: 1) Kesadaran beragama, 2) Kesadaran berilmu, 3) Kesadaran berorganisasi, 4) Kesadaran bermasyarakat, 5) Kesadaran berbangsa dan bernegara (Zuhry, 2018: 15).

 

Sorogan dan bandongan sebagai ciri khas metode pembelajaran pesantren berperan dalam melestarikan tradisi menulis tangan (handwriting tradition).Hal penting yang menjadi bagian integral dalam dunia pernaskahan Nusantara. Pesantren dalam konteks ini bisa disebut sebagai skriptorium, sebuah tempat segala kegiatan atau aktivitas penyimpanan, penyalinan dan penulisan naskah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika saya menempatkan pesantren dan tradisi menulis tangannya sejajar dengan skriptorium yang pernah berjaya di Nusantara, yaitu: Algeemene Secretarie, Penyewaan Naskah Pecenongan, Yayasan Indra Sakti, Rusydiah Club, dll.

 

Pesanten dengan kekhasannya telah berlangsung lama tumbuh dan berkembang di Nusantara. Konsepsi pesantren merupakan turunan dari pola pendidikan di masa sebelumnya. Konteks budaya Nusantara turut mempengaruhi terbentuknya model pendidikan pesantren. Dalam manuskrip kuno disebut dengan istilah Mandala, wilayah suci yang didalamnya diselenggarakan upacara-upacara keagamaan dalam rangka membentuk manusia sempurna (Suryanto, 2019: 4).

 

Santri dalam Khazanah Manuskrip Nusantara

Santri sebagai subjek dalam roda kehidupan pesantren tertulis dalam manuskrip kuno. Beberapa manuskrip yang menyebutkan tentang santri, antara lain: Singir Santridan Dongeng Sejati Kanggo Para Santri. Kedua manuskrip ini tersimpan di tempat yang berbeda dengan kondisi yang tak sama. Namun, kedua manuskrip ini bisa diakses secara online dan bisa dibaca dalam bentuk digital.

 


Singir Santri merupakan manuskrip yang tersimpan di perpustakan Universitas Indonesia. Manuskrip ini berisi uraian tentang bagaimana kriteria santri yang baik. Santri adalah seorang yang sabar, giat, telaten, prihatin dan bakti kepada guru. Secara panjang lebar dijelaskan tentang amal dan ilmu berperan pada akhir zaman, selain itu juga dibahas bagaimana santri ridha terhadap sikap guru, kiai atau ustadz yang mengajarnya. 

 

Manuskrip ini terdiri dari 7 halaman dan setiap halaman terdiri dari 39 baris. Bahasa yang digunakan dalam manuskrip ini adalah bahasa Jawa dengan aksara latin. Pada halaman 6, Kolofon dalam manuskrip ini memberikan keterangan bahwa pengarangnya adalah seorang ‘haji miskin’ di Kampung Pabean Surabaya yang bernama Haji Zakaria putra haji Gazali. Teks syair ini diselesaikan pada hari Sabtu 25 Rajab tanpa tahun. Naskah ini diterbitkan oleh penerbit Al-Fakir al-Chakir al-Chaji Abdul Ghani di kampung Ledok, Bangil pada tanggal 7 Rejeb 1347 (20 Desember 1928). Pigeud menerima naskah ini dari R. Mandrasastra pada tanggal 7 Maret 1930 (Behrend & Pudjiastutik, 1997: 671).


Kemudian, Dongeng Sejati Kanggo Poro Santri merupakan manuskrip berbahasa Jawa beraksara Arab (pegon) yang tersimpan di masjid Komplek Pesantren Popongan, Klaten. Manukrip ini merupakan fragmen ketiga bersama dua fragmen lainnya, yaitu: Ilmu Tajwid yang ditulis menggunakan bahasa Arab dengan metode tanya jawab dan ilmu Nahwu & Sharf yang ditulis dalam bentuk prosa berbahasa Arab. Dalam kolofon menyebutkan bahwa manuskrip ini ditulis di Termas tertanggal Safar 1344 H oleh Muhammad Dimyathi Surkati Termas.

 

Dongeng Sejati Kanggo Poro Santri terdiri dari 7 halaman. Namun secara keseluruhan, manuskrip ini berjumlah 24 halaman yang tersusun dari 1 kuras. Manuskrip ditulis dengan tinta hitam pada kertas bergaris, masih terbaca dan dalam kondisi baik. Dalam pembukaan pada fragmen ketiga ini, penulis memulainya dengan menyebutkan rahmandan rahimAllah SWT. Penulis mengutip nama Sayidina Ahmad bin Zaini Dahlan dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah dalam pengantarnya.

 

Isi dari teks tersebut menceritakan asal mula munculnya Wahabi. Pada tahun 1143 H, di negara Nejad, sebelah selatan wilayah Syam ada orang Arab Muhammad bin Abdul Wahab. Semakin lama pengikutnya semakin banyak dan meningkat kekuatannya. Wahabi semakin bersinar, tumbuh berkembang tanpa ada musnahnya. Dari segi isi, manuskrip ini tidak jauh beda dengan manuskrip lain berbahasa Sunda beraksara Arab yang berjudul Syajarah Wahabi. Pengarangnya tidak diketahui, namun penyalinnya tertulis H. Mansur. Isi ringkas dari naskah ini terkait sejarah lahirnya Muhammad bin Abdul Wahab, propaganda dan dukungan Muhammad bin Saud, namun keduanya dihentikan oleh Ibrahim Basya. Manuskrip ini milik H. Barchoya Mansur tersimpan di kediaman Ibu Fenty.

 

Sumbangsih Pesantren dalam Dunia Pernaskahan Nusantara

Santri dan pesantren menjadi bagian penting di segala lini kehidupan bangsa Indonesia. Jejak santri menjadi tinta emas perjalanan bangsa mulai dari tim Komite Hijaz, perang kemerdekaan hingga menjaga prinsip keislaman dan kebangsaan di tengah masyarakat. Mengingat peran santri dan pentingnya pesantren, pemerintah menjamin keberlangsungan pesantren dengan UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. 

 

Dalam dunia pernaskahan, hasil dari proses pembelajaran di pesantren mempunyai sumbangsih yang tidak sedikit. Manuskrip-manuskrip produk pesantren mempunyai ciri khas yang membedakan dengan manuskrip yang ditulis lebih dulu. Manuskrip pesantren umumnya menggunakan aksara arab dan membahas tentang agama Islam beserta sumber-sumbernya. Bahasa yang digunakan terdiri dari dua bahasa, bahasa arab sebagai bahasa utama dan bahasa daerah yang ditulis dengan aksara arab sebagai penjelasnya. Pola tulisan umumnya tidak teratur karena ditulis dengan sangat cepat mengikuti penjelasan kiai. 

 

Tidak semua negara memiliki peninggalan tertulis. Indonesia dengan beragam kelompok etnis budaya mempunyai warisan manuskrip yang sangat kaya. Manuskrip menjadi objek kebudayaan prioritas pemerintah yang dilindungi. Produksi akan manuskrip berbanding lurus dengan tradisi menulis tangan. Pesantren sebagai institusi pendidikan yang melestarikan tradisi menulis tangan dengan metode bandongan dan sorogan. Perlu dukungan dari berbagai pihak untuk menjaga dan mengembangkan keberlangsungan pesantren.

 

Di tengah arus modernisasi, tradisi menulis tangan akan tetap terjaga di dalam pesantren. Satu-satunya dasar pentingnya metode pembelajaran tersebut adalah pesantren sebagai tempat produksi manuskrip yang berkelanjutan. Masa depan dunia pernaskahan Nusantara salah satunya berada di pesantren. Skriptorium yang menyimpan, memelihara dan memroduksi manuskrip yang bernafaskan keislaman dan keindonesiaan.

 

Referensi

Bruinessen, Martin van. (2015). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publishing.

Suryanto, A. B. (2020). Genealogi Pesantren dalam Manuskrip Tantu Panggelaran. Journal of Islamic Civilization, 2(1), 1-17. DOI: https://doi.org/10.33086/jic. v2i1.1513

Zuhry, A. D. (2015). Peradaban Sarung: Veni, Vidi, Santri. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Behrend, T. E & Pudjiastutik, T. (1997). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3 A, B. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D’Extreme Orient.

Chambert-Loir, H & Kramadibrata, D. (2014). Katalog Naskah Pecenongan. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar