KUNTU NABIYYA: Ada Sebelum Semesta

Oleh: Menachem Ali
Redaksional teks "matan" hadits yang menggunakan frase "kuntu Nabiyya" (كُنْتُ نَبِيًا), lit. "Aku telah ada sebagai Nabi" termaktub dalam manuskrip yang lebih tua, yakni termaktub dalam kitab al-Mushannaf li Ibn Abi Syaibah(w. 235 H). Hadits ini memiliki 3 kelebihan yang tidak mungkin terbantahkan, terutama bila dikaji berdasarkan kajian filologi, yakni merujuk pada cabang keilmuan tekstologi (ilmu yang mempelajari keakuratan dan kritik teks) dan cabang keilmuan kodekologi (ilmu yang mempelajari kekunoan manuskrip). 

Berkaitan dengan kritik teks, Paul Mass menyatakan: "textual criticism is to produce the text as close as possible to the original." Itulah sebabnya, hadits yang termaktub dalam kitabnya Ibn Abi Syaibah (w. 235 H) memiliki keunggulan. Pertama, redaksional teks "matan" hadits ini ternyata sanad-nya sangat sahih dan "matan" hadistnya juga lebih tua dibanding "matan" hadits lainnya. Kedua, "matan" hadits ini termaktub pada dokumen yang lebih kuno, yakni dokumen kitab al-Mushannaf karya al-Hafidz Ibn Abi Syaibah (w. 235 H). Ketiga, versi redaksional "matan" hadits ini merupakan "bacaan mayoritas."

Sebaliknya, redaksional teks "matan" hadits yang menggunakan frase "kutibtu Nabiyya" (كُتِبْتُ نَبِياً), lit. "Aku telah tertulis sebagai Nabi" paling tua termaktub dalam manuskrip Musnad as-Shahabahkarya Abu Bakr Muhammad bin Harun al-Ruwayyani (w. 307 H). Dalam hal ini, redaksional teks "matan" hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), dengan redaksional teks "matan" hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Harun al-Ruwayyani (w. 307 H) kodifikasi kitab haditsnya ada selisih sekitar 72 tahun. Artinya, kekunoan manuskrip tulisan al-Imam Ibn Abi Syaibah (w. 235 H) memang sangat valid dan dapat diandalkan keakuratan redaksional teks "matan" haditsnya.

Adanya varian redaksional teks "matan hadits" yang berbunyi "kuntu Nabiyya" (كنت نبيا), lit. "Aku telah ada sebagai Nabi" dan "matan hadits" yang berbunyi "kutibtu Nabiyya" (كتبت نبيا), lit. "Aku telah tertulis sebagai Nabi" sangat menarik bila dikaji secara filologis. Pertama,hal ini kemungkinan terjadi akibat semacam "misquoting text" atau kekhilafan penyalinan teks secara tertulis, karena adanya kemiripan aksara pada kedua term tersebut, yakni term "kuntu" (كنت) dan term "kutibtu" (كتبت).Kedua, hal ini terjadi kemungkinan akibat kekhilafan periwayatan teks yang diriwayatkan secara lisan. 

Redaksional teks "matan" hadits yang memiliki rentang zaman sekitar 72 tahun tentu saja sangat rawan kesalahan penyalinan teks, dan sangat rawan kesalahan periwayatan teks. Apakah kekhilafan atau pengubahan teks secara tidak sengaja dalam rentang waktu 72 tahun itu dianggap tidak penting? Kesalahan tulis yang tidak disengaja, tentu saja hal itu akibat "periblepsis" ("salah lihat") saat penyalinan teksnya - yang umumnya teksnya tertulis tanpa tanda baca.

Sementara itu, redaksional teks "matan" hadist yang termaktub pada manuskrip tulisan al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn Harun al-Ruwayyani (w. 307 H), yang kitabnya dikenal dengan sebutan "Musnad as-Shahabah" juz II (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah, 2016), hlm. 329, terdapat teks hadits yang berbunyi demikian:
حدثنا إسحاق بن شاهين، حدثنا خالد، عن خالد، عن عبد الله بن شقيق، أن رجلا، سأل النبي صلى الله عليه وسلم: متى كتبت نبيا؟ ، فقال له الناس: مه، قال: “دعوه، كتبت نبيا وآدم بين الروح، والجسد”. أخرجه الروياني في مسنده.

Redaksional teks "matan" hadits ini menggunakan frase "kutibtu Nabiyya wa Adamu bayna al-ruhi wal al-jasad" (كتبت نبيا وادم بين الروح والجسد), lit. "Aku telah tertulis sebagai Nabi dan Adam belum tercipta - antara ruh dan jasad." Hadits yang terdokumentasi pada manuskrip "Musnad as-Shahabah" ini tentu saja akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Bila Sang Nabi SAW berkata: "Aku telah tertulis sebagai Nabi tatkala Adam antara ruh dan jasad", maka akan muncul 2 pertanyaan penting. Pertama, dimanakah tentang dia telah tertulis sebagai Nabi? Kedua, bukankah tentang dia telah tertulis sebagai Nabi saat itu Adam belum ada dan belum tercipta? Hadits ini akan semakin jelas maksudnya bila hadits tersebut dikuatkan dan dibandingkan redaksional teks "matan" haditsnya dengan "matan" hadits yang lain.

Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut tentu saja tidak akan pernah terjawab, bila kita tidak merujuk pada "matan" hadits yang lain, sebagaimana redaksional teks "matan" hadits yang termaktub dalam kitab Al-Mustadrak 'ala as-Shahihayn li al-Imam al-Hakim(w. 405 H). Dengan demikian, jawaban terhadap kedua pertanyaan itu hanya dapat merujuk pada teks hadits yang termaktub dalam kitab tersebut, yakni hadits no. 237/4227 yang menyebutkan bahwa "tentang dia" sebagai Nabi, ternyata telah tertulis pada 'arasy-Nya.

Bila Anda "mengingkari" validitas hadits no 234/4227 sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Mustadrak 'ala as-Shahihayn karya al-Imam al-Hakim (w. 405 H/1020 M.), maka silakan Anda memberikan jawaban akurat terkait validitas hadits "kutibtu Nabiyya" (كتبت نبيا), lit. "Aku telah tertulis sebagai Nabi." Pertama, hadits ini faktanya diakui sebagai hadits sahih oleh semua ulama ahli hadits sejak era Salaf hingga era Salafi. Bahkan, Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani pun mengakui validitas "matan" haditsnya. 

Sementara itu, manuskrip kuno yang berasal dari tradisi Kristen yang berjudul "Apology of al-Kindi" dapat dijadikan sebagai teks pembanding. Manuskrip ini ditulis sebagai sebuah "karya polemik" antara Abdullah ibn Ismail al-Hashimi dan Abd al-Masih ibn Ishaq al-Kindi pada masa abad ke-9 M. Menurut para ahli, manuskrip ini tepatnya ditulis pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma'mun (813 - 834 M), ditulis oleh seorang penulis Kristen dari kalangan Gereja Ortodoks Syria Timur. Ada yang menduga bahwa penulis sebenarnya adalah penulis terkenal yang bernama Yahya bin 'Adi (893 - 974 M) yang menulis banyak karya terkait pembelaan iman Kristiani dari "serangan" pihak Islam. Sementara itu, menurut riset yang dilakukan oleh Sir William Muir dalam karyanya yang berjudul "The Apology of al-Kindy: In Defence of Christianity Against Islam", manuskrip ini ditulis pada tahun 215 H/ 830 M. Pada teks tersebut terdapat kutipan nas yang redaksional teksnya berbunyi demikian:

"Hoc enim est testimonium verum - glorificet te Deus - quod Deus antequam saecula crearet, testificatus est, videlicet, cum in throno scriptum esset: "Non est deus nisi Deus, Mahumet nuntius Dei."
("Indeed, this testimony is true - may God glorify you - since God attested it before He created the world, for on the throne is written: "There is no god but God, and Muhammad is the prophet of God"). 

Pada manuskrip "Apology of al-Kindi", yang manuskripnya ditulis pada tahun 215 H/ 830 M., ternyata terdapat kutipan nas penting yang menyatakan bahwa di 'arasy-Nya telah tertulis 2 kalimat "Syahadat" sebelum Dia menciptakan segala sesuatu. Artinya, eksistensi nama Muhammad SAW telah termaktub di 'arasy TUHAN, dan oleh sebab dia segala sesuatu diciptakan. 

Hal yang senada, terkait tentang Yesus, pada manuskrip "Apology of al-Kindi" (circa 215 H/830 M.) tersebut ternyata juga terdapat sebuah kutipan nas yang berbunyi demikian:
"Nam ille, quem nos Filium Dei dicimus, Verbum aeternum ipsius est, per quod creata sunt universa."
("For he, whom we call the Son of God, is his eternal Word, through whom all things were created"). 

Kutipan nas dalam manuskrip "Apology of al-Kindi" tersebut dapat dilacak sumbernya, dan dipastikan bersumber berasal dari teks Injil Yohanes 1:3 yang berbunyi demikian:
"Omnia per ipsum facta sunt, Et sine ipso factum est nihil, quod factum est."
("Segala sesuatu dijadikan melalui dia, maka jikalau tidak ada dia, tiadalah sesuatu yang telah jadi"). 

Dengan demikian, sebenarnya ada kesamaan konsep mengenai asal-usul dan sumber penciptaan alam semesta dalam perspektif Islam dan Kristen, meskipun kedua iman tersebut merujuk pada eksistensi tokoh yang berbeda.

Posting Komentar

0 Komentar