NU dan Manuskrip Islam Pesantren

 

Oleh: Oman Fathurahman

Tampilnya KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Tanfidziyah NU dalam Muktamar di Makassar lalu memberikan harapan baru pemberdayaan dan penguatan kembali pesantren sebagai aset kultural bangsa Indonesia. Pada hari KH Said Aqil Siradj terpilih, saya kebetulan sedang berada jauh dari Makassar, tepatnya di Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan, Jawa Timur. Saya, bersama-sama tim dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) dan Islamic Manuscript Unit (ILMU) PPIM UIN Jakarta, sedang ‘bercengkerama’ dengan tidak kurang dari 50-an bundel tebal naskah kuno tulisan tangan koleksi Pesantren, yang berisi hampir seratusan teks.

 

Selama tiga malam kami membersihkan dan kemudian meng-alih media digitalkan naskah-naskah kuno berusia ratusan tahun tersebut yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Harapannya, teks-teks digital tersebut kelak dapat membantu ‘memperpanjang’ usia teks yang terkandung di dalamnya, kendati mungkin fisik naskahnya tidak dapat diselamatkan lagi!

 

Beruntung, dalam waktu yang sangat pendek itu kami dapat memastikan bahwa koleksi naskah kuno PSM Takeran merupakan warisan berharga leluhur dan pendiri Pesantren sendiri, sebagian adalah buah tangan pendirinya, KH Imam Mursyid, yang ironisnya belum mendapatkan perhatian sepatutnya, bahkan dari keluarga ahli warisnya sekalipun.

 

Agenda ‘kembali ke pesantren’ yang diusung KH Said Agil Siradj tiba-tiba mengingatkan saya betapa pesantren sesungguhnya mewarisi dan memiliki khazanah naskah tulisan tangan, yang menurut Undang-undang no. 5 tahun 1992, dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya! Hanya orang memang lebih sering menyebut, pasti karena ketidaktahuannya, arca, masjid, makam, atau artefak lain belaka ketimbang naskah kuno, ketika menyebut soal benda cagar budaya nasional itu. Padahal, dari segi jumlah saja, naskah kuno, yang berisi rekam jejak berbagai aspek kehidupan dan tradisi masa lalu kita itu, berlipat-lipat jauh lebih banyak dalam beragam bahasa dan aksara, serta lebih rentan musnah karena bahan kertas yang digunakannya.

 

Sebelum PSM Takeran, tiga pesantren lain di Jawa Timur, yakni Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Tarbiyyah al-TalabahLamongan, dan Pesantren Tegalsari Ponorogo juga diketahui menyimpan sekitar 300-an bundel naskah, yang telah dialihmediakan oleh Tim MIPES dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya pimpinan Amiq Ahyad. Umumnya, naskah-naskah koleksi pesantren ini ditulis dalam bahasa Arab dengan terjemah antarbaris dalam bahasa Jawa dan aksara Pegon.

 

Saya merasa sangat yakin, jika terus ditelusuri, masih banyak lagi pesantren-pesantren salafiyah, termasuk di luar pulau Jawa, yang menjadi ‘gudang’ penyimpanan naskah-naskah kuno bernafaskan keagamaan. Masalahnya, siapa yang peduli? Salah satunya harusnya adalah NU.

 

Mengapa NU? Tradisi tulis di kalangan masyarakat Nusantara telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Kedatangan Islam telah memperkaya peradaban tulis menulis, terutama karena adanya kebutuhan pengadaan bahan ajar agama. Dan, pilihan paling mungkin saat itu adalah dengan menyalin tangan kitab-kitab rujukan berbahasa Arab, serta menyadur atau menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal setempat. Tidak heran kemudian jika kitab-kitab, yang belakangan dikenal sebagai ‘kitab kuning’, tersebut kini banyak dijumpai dalam versi tulisan tangannya, baik sebagai milik perorangan maupun lembaga semisal pesantren.

 

Nah, keluarga besar NU jelas mewarisi tradisi ini. Kitab kuning adalah pilar utama yang tidak dapat dipisahkan sebagai identitas Jamaah Nahdliyin, dan sejumlah besar substansi dari kitab kuning, khususnya dalam bahasa-bahasa lokal, seperti Melayu, Jawa, atau Sunda, terdapat dalam bentuk naskah-naskah kuno tersebut.

 

Dalam konteks keilmuan Humaniora, naskah kuno adalah objek utama kajian filologi dan kodikologi. Telaah atas satu atau sekumpulan naskah sering ditempatkan dalam konteks upaya preservasi, yakni pemeliharaan dan pelestarian artefak budaya, baik preservasi fisik naskahnya maupun kandungan isinya. Seiring dengan era digital, upaya preservasi teks naskah kuno itu dilakukan melalui digitisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan pengolahannya dalam sebuah perpustakaan naskah digital (digital manuscript library).

 

Trendperpustakaan digital jelas telah memikat hasrat masyarakat internasional, hingga UNESCO pun meluncurkan Program The World Digital Library (WDL) pada 2009 untuk mempromosikan sikap saling memahami dan empati terhadap budaya masing-masing suku bangsa (international and intercultural understanding) melalui teknologi digital.

 

Di sinilah salah satu agenda pemberdayaan pesantren oleh NU dapat diletakkan. Pesantren, sebagai salah satu kekuatan civil society, dapat memberikan kontribusi besar terhadap dunia akademik khususnya dengan unjuk kekayaan khazanah intelektualnya, dan memfasilitasi tersedianya akses digital tak terbatas melalui pengembangan perpustakaan naskah digital.

 

Belakangan, di kalangan facebookersbahkan telah muncul sebuah account dengan nama ‘Nahdlatul Ulama Manuskrip’, yang secara sporadis menampilkan penggalan-penggalan foto manuskrip asal komunitas ini. Tentu saja, upaya lebih serius dan terorganisasi perlu dilakukan, bukankah santri NU mengenal ajaran al-haqq bila nizam sayuglabu bil bathil ma’an nizam (kebaikan yang tidak terorganisasi akan kalah pamor oleh keburukan yang terorganisasi)?

 

Saya yakin, haqqul yaqin, dengan semakin terbukanya akses terhadap pesantren, terhadap khazanah keilmuannya, dan terhadap karakteristik keragaman mazhabnya, maka gagasan-gagasan multikulturalisme dan pluralisme yang memang menjadi karakter utama pesantren akan semakin dikenal khalayak nasional dan internasional, sehingga pesantren tak melulu dicurigai sebagai sarang terorisme yang mengajarkan kekerasan.

 

Tentu saja NU bukan satu-satunya ahli waris pesantren salafiyah yang mewarisi khazanah naskah kuno tulisan tangan. Masih ada lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional lain yang memiliki kemiripan tradisi dan ideologi. Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran di atas adalah salah satunya. Konon, PSM, yang mengaku mengembangkan penggabungan ideologi tradisionalisme dan modernisme Islam ini, memiliki sekitar 99 cabang di seluruh Indonesia.

 

Dalam jamuan makan siang menjelang keberangkatan kami kembali ke Jakarta, Pimpinan PSM Takeran, Ir. H. Miratul Mukminin, MM, atau yang lebih akrab dipanggil ‘Pak Amik’, berbisik bahwa ia sebetulnya masih menyimpan lebih banyak lagi naskah-naskah kuno yang sengaja dipisahkan di kamar pribadinya, karena khawatir dipelajari sembarang orang. Tuh, kan!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Seputar Indonesia


Posting Komentar

0 Komentar