al-Mawâhib al-Jâwiyyah & Khazanah Manuskrip Banten: Syaikh Yusuf al-Makassari, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Syaikh Nawawi al-Bantani

Oleh: Oman Fathurahman

Proses Islamisasi di Nusantara telah mendorong munculnya tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan, maka seharusnya Banten memiliki khazanah naskah keagamaan yang sangat banyak. Hal ini karena Banten telah terlibat dalam proses Islamisasi sejak awal abad ke-17. Sejarah mencatat bahwa pada masa ini, seorang yang kemudian menjadi ulama besar asal Sulawesi Selatan, yakni Syaikh Yusuf al-Makassari, telah singgah di Banten, dan bersahabat dengan putra mahkota yang kelak menjadi sultan Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692). Kehadiran Shaikh Yusuf di Banten ini setidaknya semakin menumbuhkan atmosfer keilmuan di kalangan penguasa dan masyarakat Muslim Banten, karena Shaikh Yusuf adalah seorang ulama besar yang sangat produktif dalam menulis berbagai risalah keagamaan (Lubis 1996: 21-22).

 

Tradisi keilmuan Islam Banten semakin menemukan bentuknya ketika pada abad ke-19 muncul seorang ulama besar Banten, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani. Sejauh ini, al-Bantani diyakini sebagai salah seorang ulama Banten yang paling produktif dengan menulis setidaknya 100 buah karya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, seperti tasawuf, fikih, akhlaq, dan lain-lain (Brockelman 1938; Bruinessen 1995; Rachman 1995).

 

Penting dijelaskan bahwa karir keilmuan al-Bantani tidak dapat lepas dari pesantren. Oleh karenanya, tidak mengherankan kemudian jika pada umumnya, karangan-karangan al-Bantani menjadi kitab rujukan di berbagai pesantren, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Di antara karya-karyanya, yang termasuk monumental adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, atau Tafsir Marah Labid.

 

Dalam hal ini, saya berkeyakinan bahwa selain al-Bantani, pada masa-masa berikutnya muncul pula para ulama Banten yang mengikuti jejak al-Bantani dalam hal penulisan naskah-naskah keagamaan, baik sebagai pengarang maupun penyalin naskah saja. Oleh karenanya, tidak mustahil jika masih banyak naskah-naskah keagamaan Banten yang tercecer di kalangan masyarakat.

 

Hanya saja, penelitian atas naskah-naskah Banten ini tampaknya belum secara maksimal dilakukan, sehingga khazanah naskahnya belum teridentifikasi dengan baik. Dalam buku Khazanah Naskah (Chambert-Loir & Fathurahman 1999), yang memang disusun hanya berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan terutama diterbitkan, catatan mengenai khazanah Naskah Banten ini hampir tidak ditemukan sama sekali. Konon, pada awal tahun 1990-an Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (alm) telah melakukan upaya inventarisasi naskah-naskah Banten ini dalam rangka inventarisasi naskah-naskah Jawa Barat, bagian pertama hasil inventarisasi proyek tersebut yang mencakup naskah-naskah di wilayah Priangan telah diterbitkan pada 1999 (Ekadjati & Darsa 1999, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga, diedit oleh Fathurahman), namun bagian kedua yang seharusnya mencakup naskah-naskah Banten, hingga Ekadjati wafat pada awal tahun 2006 lalu, belum juga dapat diterbitkan.

 

Seperti telah dikemukakan, keterlibatan Banten dalam percaturan tentang wacana dan tradisi intelektual Islam Indonesia setidaknya sudah terlihat sejak permulaan abad ke-17. Ini berarti tidak terpaut jauh dengan masa keemasan Aceh sebagai pusat keilmuan Islam, dengan sejumlah ulamanya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf al-Sinkili.

 

Di Banten, tampaknya Sultan yang berkuasa saat itu, yakni Sultan Abû al-Mafâkhir ‘Abd al-Qâdir al-Jâwî al-Shâfi’î (berkuasa 1037-1063H/1626-1651M), sudah memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan wacana dan tradisi keilmuan Islam. Selain itu, ada indikasi kuat bahwa pada masa ini, Banten telah menjalin kontak intelektual dengan komunitas ulama di Makkah dan Madinah, mengingat munculnya sejumlah naskah keagamaan yang ditulis dalam konteks tersebut.

 

Di antara naskah yang mengindikasikan hal ini adalah sebuah naskah berjudul al-Mawâhib al-Rabbâniyyah ‘an al-As'ilah al-Jâwiyyah, karangan Muhammad ibn ‘Alî ibn ‘Allân al-Siddîqî al-Ash’arî al-Shâfi’î (996-1057H/1588-1647M), yang ditulis dalam bahasa Arab dengan terjemahan bahasa Jawa tulisan pegon. Naskah yang berukuran 31 x 19,5 cm dengan teks berukuran 24 x 21 cm ini tergolong sangat penting dalam wacana religio-intelektualisme Islam Indonesia mengingat isinya merupakan tanya jawab antara Sultan Abû al-Mafâkhir, sebagai penguasa Kesultanan Banten dengan pengarangnya, Ibn `Allan yang merupakan salah seorang ulama terkemuka di Haramayn. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sang Sultan menyangkut berbagai persoalan fiqih siyasah yang terdapat di dalam kitab Nasîhat al-Mulûk karangan Imâm al-Ghazâlî, ditambah dengan beberapa pertanyaan tentang persoalan-persoalan yang menjadi concern Sultan (Azra 1994:173; Voorhoeve 1980: 130-1, 204-5).

 

Jika diamati secara saksama, dapat dipastikan bahwa naskah yang dalam setiap halamannya terdapat sembilan baris ini bukan merupakan naskah asli tulisan pengarangnya yang ulama Arab, melainkan berupa salinan yang ditulis oleh seorang Melayu-Indonesia. Beberapa hal dapat menjelaskan asumsi ini, antara lain: adanya terjemahan antarbaris dalam bahasa Jawa yang tersusun rapih, dan dengan jarak yang konsisten dalam setiap halamannya. Hal ini juga memberikan petunjuk tentang kemungkinan metode penulisannya, yakni teks Arab, yang menggunakan jenis tulisan naskhi berharakat lengkap dan berukuran besar, ditulis terlebih dahulu hingga selesai, baru kemudian menyusul teks Jawanya, dengan menggunakan jenis tulisan farisi, tanpa harakat, dan berukuran jauh lebih kecil. Seperti umumnya naskah-naskah lain, jenis tinta yang digunakan dalam keseluruhan teks berwarna hitam, kecuali beberapa kata tertentu menggunakan tinta merah.

 

Dari beberapa karakter huruf yang digunakan, baik dalam teks Arab maupun teks Jawa, patut diduga bahwa penulis teks Arab dan teks Jawanya adalah satu orang yang sama. Tentu saja, ini tidak mungkin dilakukan seorang Arab asli, melainkan oleh orang yang paham betul bahasa Jawa, di samping juga paham bahasa Arab. Meskipun demikian, jika diperhatikan dengan cermat, ada beberapa kekeliruan dalam hal pemberian harakat. Ini mengindikasikan bahwa tingkat pemahaman sang penyalin terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab (nahwu-sharaf) masih belum paripurna. Karena itu, sangat mungkin, penyalin adalah seorang murid yang berasal dari lingkungan bahasa Jawa, yang sedang mempelajari isi teks tersebut dan sekaligus berusaha menerjemahkannya.

 

Hal menarik lainnya dari naskah ini adalah adanya beberapa karakter huruf Arab yang benar-benar khas Melayu-Indonesia. Misalnya setiap huruf hamzah yang terletak di tengah kata dan dibaca kasrah, selalu ditulis dengan titik dua di bawahnya, seperti kata su'ilû, al-as'ilah, al-sâ'ilîn, li qâ'ilihâ, dsb. Karakter huruf seperti ini tentu saja hanya dijumpai dalam aksara Jawi atau pegon, untuk menandai bacaan kasrah, dan tidak dijumpai dalam aksara Arab yang “asli”. Lagi-lagi, ini menunjukkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan untuk kepentingan Muslim setempat, yang pada gilirannya menjadi sebuah kekayaan khazanah keilmuan Islam lokal.

 

Mempertimbangkan substansi naskah al-Mawâhib seperti disinggung di atas, sesungguhnya kita dapat membangun sebuah asumsi bahwa pada masa itu, di Banten telah terbangun sebuah tradisi fatwa, di mana Sultan Abû al-Mafâkhir bertindak sebagai mustafti (yang meminta fatwa), dan ibn ‘Allân sebagai muftinya.

 

Dari penjelasan di atas, naskah-naskah keagamaan Banten setidaknya dapat dikategorikan ke dalam dua karakterisitk. Pertama, naskah yang bukan merupakan karangan ulama Banten, akan tetapi ditulis dalam konteks Banten. Naskah al-Mawâhib al-Rabbâniyyah ‘an al-As'ilah al-Jâwiyyah adalah contoh naskah Banten yang masuk kategori ini. Kedua, naskah yang memang ditulis oleh para ulama Banten sendiri, meskipun substansinya tidak berkaitan dengan konteks Banten secara khusus, melainkan tentang ajaran Islam secara umum. Yang termasuk dalam kategori ini antara lain naskah-naskah karangan Syaikh Nawawi al-Bantani, dan karangan para ulama Banten lainnya yang belum teridentifikasi.











Sumber: UIN Syahid

Posting Komentar

0 Komentar