Kajian Kodikologi Penyalinan Naskah-Naskah Riau Abad XIX

Oleh: Ardiansyah BS

Riau pada abad ke-19 tercatat menjadi salah satu daerah yang menggunakan bahasa Melayu. Kota yang banyak melahirkan penyalin dan pengarang naskah terkenal, yaitu Raja Ali Haji dan Raja Ahmad sebagai pengarang dan Haji Ibrahim dan Encik Ismail sebagai penyalin. Istana Pulau Penyengat mempunyai peran besar dalam mengembangkan kreatifitas kepenulisan dengan membangun Rumah Percetakaan Kerajaan. Percetakan ini menjadi yang pertama dengan media cetak batu menggunakan aksara Jawi.


Tradisi menyalin dan mengarang naskah terus berlanjut meskipun kerajaan telah runtuh. Pulau Penyengat menjadi saksi keberlanjutan tradisi kepenulisan sejak tahun 1894 dengan berdirinya percetakaan Matba’at Al-Riawiyah dan Mathba’ah Al-Ahmadiah. Selain itu, dari keturunan raja-raja Riau muncul para penulis kreatif dan membentuk perkumpulan yang dikenal dengan nama Rusydiah/Club.


Kegiatan penulisan dan pengarangan naskah begitu massif di Riau pada masanya. Hal ini membuat peneliti tertarik mengetahui beberapa topik, di antaranya: 1) penulis naskah-naskah Riau dan latar belakangnya, 2) lokasi penyalinan dilakukan, 3) Hubungan antara jenis naskah dan tujuan penyalinan, 4) Mengenali naskah-naskah Riau dari kondisi fisiknya.


Model penelitian kodikologi yang digunakan dalam penelitian ini seperti De Descriptione Codicum karya Hermans dan Huisman (1977). Implementasinya menyesuaikan kondisi fisik naskah Riau yang dirinci mencakup hal-hal 1) identifikasi naskah, 2) bagian buku, 3) tulisan, 4) penjilidan, 5) sejarah. Langkah awal yang dilakukan adalah mencari rujukan pada beberapa penelitian naskah di antaranya Juynboll (1889), Ronkel Ricklefs dan Voohoeve (1977), Chambert-Loir (1980), dan Kratz (1989), Russel Jones (1974), U.U. Hamidy (1985), dll.

 

Sejarah dan masyarakat Riau abad ke-19

DalamSejarah Riau  dikatakan bahwa sejarah kata Riau berasal dari kata Rioyang berarti sungai. Kata yang berasal dari bahasa Portugis itu lama-kelamaan berubag menjadi Riau, namun orang Belanda menulis dengan Riow. Sementara itu, masyarakat kepulauan Riau mengenal kata rioh yang berarti suara yang sama. Riau menjadi pusat Kerajaan Melayu yang dikenal dengan keramaiannya, suara yang terjadi karena kesibukan perdagangan keluar-masuk kota.


Kerajaan melayu Riau sebelum tahun 1824 melingkupi daerah Johor, Singapura dan daerah provinsi Riau sekarang. Raja Kerajaan Melayu Riau pada masa ini adalah Sultan Tengku Abdul Rahman menggantikan ayahnya Sultan Mahmud III yang wafat. Pada tahun 1824 setelah terjadi Traktat London, Kerajaan Melayu Riau dibagi dua: Singapura dan Riau. Singapura menjadi jajahan Inggris dan Riau menjadi jajahan Belanda.


Pulau Penyengat menjadi pulau kecil yang sangat strategis. Pernah menjadi pusat pemerintahan Riau, dan sampai saat ini mendapat julukan Pulau Penyengat Indra Sakti. Wilayah kecil yang menjadi saksi pertempuran Sultan Sulaiman Badr Alam Syah dan Raja Kecil dari Siak. Begitu pula perang antara Riau dan Belanda sampai saat ini sisa-sisa pertempuran berupa benteng pertahanan masih dapat disaksikan.


Ketika menjadi pusat pemerintahan, Pulau Penyengat menjadi pusat penyalinan dan pengarangan naskah. Selain kalangan istana, pemerintah kolonial Belanda juga berperan dalam proses penyalinan naskah. Nama-nama terkenal pemrakarsa penyalinan naskah dari pihak Belanda di antaranya von de Wall, C.P.J. Elout, Klinkert dan Walbeehm. Peranan masyarakat umum tidak kalah penting dengan beredarnya naskah yang dipinjamkan.

 

Deskripsi Naskah

Yayasan Indra Sakti sebagai penyimpan naskah-naskah Riau yang terletak di Pulau Penyengat. Pada mulanya naskah yang ada di Pulau Penyengat merupakan milik perseorangan, kemudian timbul gagasan untuk mendirikan lembaga swasta yang mengelola naskah-naskah yang ada. Yayasan ini didirikan oleh Raja Hamzah Yunus bersama dengan beberapa kawannya pada tahun 1983 dengan maksud memperoleh lindungan badan hukum dalam mengelola naskah. Selain itu juga mempermudah pihak-pihak yang beminat membacanya maupun menyalurkan bantuan.


Koleksi yayasan tersebut mengkhususkan diri pada naskah Melayu. Jenis naskah yang disimpan berupa naskah tulisan tangan, naskah cetakan, cetakan batu dan fotokopi. Data 1990 menunjukkan ada 39 naskah tulisan tangan, 3 kitab kuning, 21 buku cetakan dan 6 majalah. Naskah-naskah tersebut dikelompokkan menjadi 10 kelompok, yaitu: ajaran Islam, sejarah, pelipurlara, silsilah, obat-obatan, doa, pengetahuan bahasa, ramalan, nasihat dan aneka ragam.

 

Perpustakaan Nasional yang terletak di Jalan Salemba Raya Jakarta memiliki ruang khusus naskah yang terletak di lantai V. Ruangan ini menyimpan berbagai koleksi naskah yang pada mulanya dimiliki oleh Bataviaasch Genootschap van Kensten en WetenschappenLembaga ini merupakan bentukan dari perkumpulan sarjana Eropa yang melebarkan sayapnya di Jakarta. Arsip naskah kuno pada perpustakaan nasional merupakan sumbangan dari berbagai pihak. Terdapat di antaranya naskah-naskah yang berkolofon riau yang menjadi fokus dari penelitian ini. Setelah diinventarisasi, terdapat 13 naskah yang berkolofon Riau.

 

Gambaran Kegiatan Pernaskahan Riau

Riau pada abad ke-19, khususnya Tanjungpinang dan Pulau Penyengat sudah mempunyai tradisi penyalinan naskah Melayu. Kegiatan ini ada yang diprakarsai Pemerintah Belanda, pihak kerajaan dan masyarakat umum dengan tujuan yang berbeda-beda. Tradisi penyalinan naskah yang diprakarsai pemerintah Belanda untuk kepentingan dan kemajuan misi pemerintah. Sementara dari kalangan kerajaan, ditandai dengan cap kertas Karadjan Lingga Riouw, sangat menghargai karya sastra keagamaan, sejarah dan undang-undang.

Posting Komentar

0 Komentar