Kakawin Arjunawiwaha Edisi Kuntara Wiryamartana

Teks Kakawin Arjunawiwaha dari naskah lontar MP (Malayo-Polynesien) 165. Naskah ini tersimpan di bagian Naskah Timur, Perpustakaan Nasional, Paris (Cabaton 1912:255). Pertama kalinya diidentifikasi oleh William Van der Molen. Alasan Kuntara Wiryamartama memilih dan menerbitkannya karena terdapat ‘sisipan’ satu bait sesudah AW 1.8, yang dianggap mata rantai penting dalam perjalanan tradisi Arjunawiwaha. Naskah ini tersimpan di Paris dan belum pernah diterbitkan. Naskah ini berasal dari koleksi Friederich dari Batavia dan sampai di Perpustakaan Paris pada tahun 1878 atas usaha Zotenberg (Feer 1899:6). Naskah ini ditulis di wilayah Merbabu dengan nama tempat Rabut Pekik. 

Naskah ini mempunyai dua pengapit dari bamboo, 37 lempir dan tali pengikat di tengah yang menembus pengapit dan tumpukan lempir. Menurut katalog Cabaton, naskah ini mempunyai 36 lempir bertulisan dan satu lempir kosong memuat tanda mulainya pupuh. Dalam proses penyalinan, teks Kakawin Arjunawiwaha yang termuat dalam naskah lontar MP 165 tidak lengkap. Sebagian teks hilang bersama dengan hilangnya tiga lempir. 

Metode yang digunakan dalam penelitian naskah ini adalah metode landasan. Peneliti memilih satu naskah (MP 165) di antara naskah lain (MP 181 dan 164), karena mempunyai keunikan yang tidak dimiliki naskah lain. Yang khas dari naskah MP 165 ini adalah sisipan satu bait sesudah AW 1.8 yang tidak terdapat dalam naskah Merbabu lainnya, yakni lontar 181, 164. Naskah MP 165 ini menjadi landasan, sedangkan naskah lainnya menjadi penunjang. Teks lain yang juga mempunyai sisipan satu bait itu adalah teks Wiwaha Kawi dari Surakarta dan Madura. 

Dalam suntingannya, terbitan teks ini dilaksanakan dengan dua cara, terbitan teks diplomatik dan terbitan teks dengan perbaikan bacaan. Terbitan teks diplomatik dilakukan dengan maksud agar pembaca sedekat mungkin dapat mengikuti teks, seperti yang termuat dalam naskah sumber. Sedangkan terbitan teks dengan perbaikan bacaan merupakan pengulangan terbitan diplomatik dengan menghilangkan sedapat mungkin hambatan untuk memahami teks. Ada campur tangan peneliti sebagai pembaca, dan tidak menutup kemungkinan pembaca lain akan mengajukan bacaan yang berlainan. Terbitan diplomatik dalam studi ini dilaksanakan sebagai berikut:

1.    Sistem transliterasi mengikuti sisten Van der Mollen

2.    Urutan lempir berdasarkan rekonstruksi

3.    Disajikan transliterasi berdasarkan halaman dan baris

4.    Pemberian catatan pada bagian lontar yang sobek atau berlubang

5.    Pada beberapa halaman dicatat kekurangan atau pengulangan teks

6.    Pemisahan kata

 

Sedangkan terbitan teks dengan perbaikan bacaan dalam arti ada campur tangan pembaca, dilakukan sebagai berikut:

1.     Teks dikembalikan dalam bentuk kakawin

2.    Kata-kata distandarisasikan berdasarkan Old Javanese-English Dictionary

3.    Sistem transliterasi dan ejaan mengikuti terbitan Kunjarakarna

4.     Perbaikan bacaan digunakan teks terbitan Poerbatjaraka

5.    Digunakan tanda kurung dengan beragam variasi

6.    Perbaikan teks yang hilang

 

Terkait dengan dua macam terbitan tersebut, ada 12 naskah dan 1 terbitan teks Kakawin Arjunawiwaha terbitan Poerbatjaraka (1926). Kedua belas lontar tersebut tersimpan di Perpustakaan Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta, di antaranya:

A: nipah 641

B: terbitan Friederich (VBG 23, 1850)

C: lontar 181

D: lontar 164

E: lontar 560

F: lontar 220

G: lontar 846

H: lontar 961

I: lontar 428

J: lontar 578

K: lontar 959 (Poerbatjaraka 1926: 7: 595!)

L: lontar 652

M: lontar 721

 

Dari segi struktur nampak bahwa dalam Kakawin Arjunawiwaha terdapat tumpeng tindih berbagai tataran struktur, dari tataran aksara sampai tataran satuan naratif. Berbagai tataran struktur itu mempunyai peranan dalam membina arti dan makna Kakawin Arjunawiwaha. Sedangkan dari segi estetik nampak bahwa Kakawin Arjunawiwaha secara padat menjelmakan kaidah estetik yang berpusat pada rasa dan yoga. Rasa yang dominan adalah virarasayaitu rasa kepahlawanan yang dibayangi oleh santarasayaitu rasa damai.

 

Kakawin Arjunawiwaha menyajikan sejarah hidup Erlangga yang diwujudkan dalam bentuk epik dan ditulis oleh Mpu Kanwa dalam rangka perkawinan Erlangga. Silsilah Erlangga dapat diketahui merupakan anak Teguh dengan Mahendradatta dan kemudian dikawinkan dengan Sanggramawijaya, anak Teguh dengan Parameswari.

 

Kakawin Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Erlangga (1019-1042) antara tahun 1028 dan 1035. Naskah ini mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan religius, sastra dan seniDi Bali sampai hari ini naskah ini termasuk karya yang kerap dibaca dalam perkumpulan mabasan. Digunakan pada upacara keagamaan yang berhubungan dengan Dewayadnya dan Pitrayadnya. Di lingkungan sastra Jawa beberapa jalur penafsiran Kakawin Arjunawiwaha muncul dalam bentuk karya-karya gubahan dalam tembang macapat dengan nama wiwahaatau mintaraga.

 

Pada masa kini, kisah Arjunawiwahaatau Ciptaheningseringkali ditafsirkan dalam rangka cita-cita kesempurnaan, pendidikan dan hidup kemasyarakatan. Juga dalam bentuk karya seni bukan sastra seperti relief pada Candi Surawana, Candi Tumpang, Candi Kedaton, Goa Selamangleng, serta hiasan pada keris dan lukisan pada kain batik.

 

Transformasi Kakawin Arjunawiwaha menjadi berbagai karya sastra diantaranya Serat Wiwaha Jarwa, gubahan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan Pakubuwana III dan C. F. Winter. Pemilihan kedua karya jarwa macapat ini sebagai titik hubung dengan Kakawin Arjunawiwaha didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1.    Berkesinambungan dengan Kakawin Arjunawiwaha (Jawa Kuna dan Kawi)

2.    Berasal dari lingkungan sastra yang sama, tersimpan di Kraton Surakarta

3.   Mewakili hasil sastra dari abad ke-18 dan 19 yang disebut sebagai renaissance sastra klasik

4.  Memperlihatkan teks dasar, proses penciptaan dan tanggapan pembaca yang berlainan

5. Mempunyai sejarah teks yang lengkap, baik dalam bentuk teks maupun naskahnya.

 

Hubungan Serat Wiwaha Jarwa dengan Kakawin Arjunawiwaha telah dibahas oleh tiga peneliti terdahulu:

1. Kats (1912) membandingkan pupuh IV dari Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III dengan pupuh V dan VI dari Kakawin Arjunawiwaha

2.    Boedihardja (1925) membandingkan pupuh II, bait 1-10 dari Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III dengan pupuh I, bait 7-9 dari Kakawin Arjunawiwaha dan menghubungkannya dengan Adiparwa (kisah penciptaan Tilotama)

3.    Subalidinata (1969) merunut pupuh IX dan X dari Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III ke dalam pupuh XIV bait 18 sampai dengan pupuh XVII dari Kakawin Arjunawiwaha.

Teks-teks yang digunakan dalam ketiga penelitian itu ialah teks Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III menurut terbitan Gericke dan teks Kakawin Arjunawiwaha terbitan Friederich, Kern dan Poerbatjaraka.

 

Serat Wiwaha Jarwa Gubahan Pakubuwana III

Dalam penelitian ini telah diperiksa sejumlah naskah Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III, yakni:

1.    49 Ca, tersimpan di Sanana Pustaka, Keraton Surakarta

2.    SMP-HN = = 26, milik KRT. Hardjonagoro, Kratonan, Surakarta.

3.    SMP-HN = = 27, milik KRT. Hardjonagoro, Kratonan, Surakarta.

4.    B7, tersimpan di Perpustakaan Kawedanan Ageng Widyabudaya, Kraton Yogyakarta

5.    B8, tersimpan di Perpustakaan Kawedanan Ageng Widyabudaya, Kraton Yogyakarta

6.    PB A 52, tersimpan di Perpustakaan Museum Sana Budaya, Yogyakarta

Pelengkapan cerita gubahan Pakubuwana III meliputi kisah percintaan Arjuna dan Wilotama, Surendra, Warsiki dan ketiga bidadari lainnya sampai dengan kembalinya ke dunia, bertemu dengan saudara-saudaranya.

 

Serat Wiwaha Jarwa Gubahan Winter

Ada lima naskah dan satu terbitan yang memuat teks Serat Wiwaha Jarwa gubahan Winter, diantaranya:

1.    Naskah LOr 3179, tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda

2.    Naskah A 81, tersimpan di Reksa Pustaka, Pura Mangkunegaran, Surakarta

3.    Naskah 181, tersimpan di Perpustakaan Museum Radya Pustaka, Surakarta

4.    Naskah 182, tersimpan di Perpustakaan Museum Radya Pustaka, Surakarta

5.    Naskah 183, tersimpan di Perpustakaan Museum Radya Pustaka, Surakarta

6.    Naskah 183, tersimpan di Perpustakaan Museum Radya Pustaka, Surakarta

7.    Terbitan Palmer van den Broek, berjudul Serat Wiwoho Djarwo

Dalam rangka membina keutuhan teks dan cerita, Winter menggubah bagian akhir Serat Wiwaha Jarwa yang merupakan pengolahan dari bagian akhir Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III.

 

Perkembangan tanggapan pembaca sebagai sisi lain dari proses penjarwaan. Penciptaan karya-karya jarwa merupakan aktualisasi pembacaan, pemahaman dan pengolahan Kakawin Arjunawiwaha. Tafsiran peneliti sebagai pembaca mempunyai peranan yang menentukan. Meskipun demikian kemungkinan baca yang diajukan di sini merupakan tawaran yang tetap terbuka untuk kemungkinan baca lainnya. 

 

Kemungkinan-kemungkinan baca akan ditinjau menurut jalur tertentu dengan memperhatikan lapis-lapis atau tataran-tataran struktur dan kaidah-kaidah estetik yang terjelma dalam teks. Perhatian utama dicurahkan pada teks dan hubungan antar-teks dengan masyarakat penciptanya. Kegiatan dan campur tangan penyalin, penyunting atau penerbit menentukan bacaan teks. Varian-varian teks yang terjadi dalam rangka pewarisan teks memuat tanggapan pembaca. Dalam uraian ini dipilih teks-teks pokok sebagai berikut:

1.  Untuk Kakawin Arjunawiwaha digunakan teks terbitan Poerbatjaraka dan teks dari naskah lontar MP 165

2.    Untuk Wiwaha Kawi-Jarwa digunakan teks dari naskah NBS 96

3.  Untuk Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III digunakan teks dari naskah NBS 74 dan naskah PA 0163

4.    Untuk Serat Wiwaha Jarwa gubahan Winter digunakan teks dari naskah LOr 3179

 

Analisis Kakawin Arjunawiwaha berdasarkan beberapa hal, diantaranya:

1.    Struktur Formal Kakawin

2.    Struktur dan satuan naratif

3.    Teks dan tataran semantic

4.    Kaidah estetik: Rasa dan Yoga

5.    Pujaan pembuka: Nayaka dan Tema

6.    Matriks dan model: Sakti dan Maya

7.    Sakti dalam Rangka Kerajaan dan Yoga

8.    Bait Penutup: Arjunawiwaha dan Erlangga

 

Tanggapan pembaca dalam Wiwaha Kawi-Jarwa, diantaranya:

1.    Tataran Baca, Konteks dan Hubungan Antarteks

2.    Bait-bait pembukaan: Sang Pendeta dan Pertapa

3.    Arjuna sebagai Manusia Sakti dan Pertapa

4.    Arjuna sebagai Ksatria

 

Tanggapan pembaca dalam Serat Wiwaha Jarwa Gubahan Pakubuwana III, diantaranya:

1.    Bait-bait pembukaan: Sang Pendeta adalah EMpu Kuno

2.    Arjuna sebagai Kesatria Sakti

3.    Arjuna sebagai Wika Mintaraga

4.    Serat Wiwaha Jarwa dalam Rangka Kerajaan

5.   Pembagian Pupuh dan Pemakaian Metrum dalam Rangka Tanggapan dan Dinamika Baca

 

Tanggapan pembaca dalam Serat Wiwaha Jarwa Gubahan Winter, diantaranya:

1.    Konkretisasi Pembacaan dalam Serat Wiwaha Jarwa Gubahan Winter

2.    Bait-bait Pembukaan: Sang Pendeta sebagai Manusia Unggul

3.    Arjuna sebagai Manusia Sakti dan Pertapa

4.    Arjuna sebagai Ksatria

5.    Arjuna: Manusia Teladan

6.    Pembagian Pupuh dan Pemakaian Metrum dalam Rangka Tanggapan dan Dinamik Baca

 

Hasil analisis menunjukkan bahwa Kakawin Arjunawiwaha secara padat menjelmakan kaidah estetik, yang berpusat pada rasa dan yoga. Kemudian tangapan pembaca yang termuat dalam Wiwaha Kawi-Jarwa memusatkan pehatian pada tapa dan kebaktian kebata Batara. Bersamaan dengan tekanan pada tapa tersebut perhatian besar dicurahkan pada askese, pengerasan tubuh dan penaklukan pancaindera.

 

Sedangkan tanggapan pembaca dalam serat Wiwaha-Jarwa gubahan Pakubuwana III, Kakawin Arjunawiwaha dipandang sebagai karya yang unggul karena diciptakan oleh Empu Kuno, seorang pujangga sekaligus pendeta. Tambahan pada akhir karya menampilkan pandangan tentang Arjuna sebagai  sebagai ksatria sakti, bijaksana dalam segala ilmu, mahir dalam olah perang, ulung di antara manusia, dan dikasihi oleh dewata. Dan tanggapan pembaca dalam gubahan Winter, perhatian dipusatkan pada manusia unggul, berbakti kepada Tuhan, menolak perbuatan jahat dan melakukan perbuatan baik. 

Posting Komentar

0 Komentar