Digitalisasi Manuskrip Jawa di Kerajaan Inggris


Sumber: Jawa Pos


Bukan menjadi rahasia bahwa manuskrip Jawa tersebar di seluruh dunia, salah satunya di Kerajaan Inggris. Dilansir dari Jawa Pos, Juni 1812 tentara Inggris melakukan penjarahan besar-besaran di Keraton Jogjakarta. Orang yang bertanggung jawab atas penjarahan hebat itu adalah Gubernur-Letnan Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles. Hampir setiap hari dalam dua pekan, satu gerobak barang termasuk manuskrip kuno dibawa menuju Kerajaan Inggris. Tentara Inggris diperkirakan membawa 7000 manuskrip kuno dan hanya sekitar 600 naskah yang bertahan sampai sekarang di Indonesia.

 

Bukan tanpa usaha, pemerintah Indonesia berusaha memulangkan kembali apa yang seharusnya ada di Indonesia. Ketidaksiapan pemerintah Indonesia dalam mengelola naskah masih menjadi alasan utama tertahannya kekayaan Nusantara itu di Museum Inggris. Namun, bulan ini atau nyaris 207 tahun setelahnya, kita bisa leluasa mengakses manuskrip kuno yang hilang tanpa harus terbang ke London.

 

Selama berbulan-bulan, konservator, fotografer, curator dan teknisi digital dari The British Library bekerja sangat keras untuk melakukan digitalisasi naskah kuno yang berasal dari Jogjakarta. Jessica Pollard, seorang konservator memulai tahapan digitalisasi dengan sangat berhati-hati agar tidak merusak naskah itu. Setelah dari pusat konservasi, naskah diarahkan ke studio foto ditangani oleh Carl Norman. Kemudian diserahkan kepada Kate Thomas selaku project assistant yang bertugas menilai akurasi foto dan mengunggahnya ke situs The British Library.

 

Salah satu manuskrip terpenting hasil dari proyek tersebut adalah Serat Jaya Lengkara Wulang dan Babad Kraton. Naskah pertama mengandung keindahan puitik, tembang dan tata cara penulisan. Sementara itu Babad Kraton mengandung dokumen yang sangat penting. Terutama soal kekayaan intelektual dalam pemerintahan Kasultanan Jogjakarta pada akhir abad ke-18. Naskah berisi silsilah raja Jawa dan menceritakan unsur-unsur budaya Jawa-Islam. Babad Kraton ditulis sekitar tahun 1777 atau 1778. Penulisnya diperkirakan bernama Jayanengrat, keponakan Sultan Hamengkubuwana 1. 

Posting Komentar

0 Komentar